byeolcyro

Alternatif Universe SoonHoon Archives


Jihoon baru sampai di sekolah dan langsung bergegas menuju ke kelasnya guna menaruh tas di bangku tempat ia duduk agar segera menemui Soonyoung. Ia melewati meja paling depan dimana ada Kim Mingyu teman masa kecilnya yang menyapanya namun ia abaikan.

“Kiw! Manis~ dih cuek banget elah. Mau kemana sih? Riweh banget dah pagi-pagi?”

Jihoon pun menoleh ke belakang pada arah Mingyu kemudian menarik dasinya kokoh hingga pemuda berbadan besar darinya itu bergeser mengikis jarak antara wajah mereka berdua. Karena aksi Jihoon barusan, Mingyu hanya bisa meneguk salivanya sambil menunggu kejadian tak disangka apa lagi yang akan Jihoon lakukan padanya hari ini.

“Lo—”

Mingyu pun mengangguk.Jihoon melanjutkan kalimatnya kembali.

“—Jangan pernah hubungin gue lagi, jangan pernah ikut campur urusan gue lagi, jangan pernah juga khawatirin gue dan tolongin gue lagi. Karena sekarang posisi lo udah di ganti sama anak baru. “

“Hah? Demi apa Lee Jihoon lo kagak jadi benalu hidup gue lagi?” Tanya Mingyu heran sambil menukik alisnya karena kebingungan.

Jihoon hanya berdehem, Mingyu langsung melontarkan pertanyaan berikutnya.

“Siapa?“

“Kwon Soonyoung” Ucapnya sambil mengambil ponsel Mingyu di saku almamaternya, kemudian menonaktifkan alat pelacak yang tersambung pada smartwatch heart ratenya.

“Kwon Soonyoung? Serius? Ji, lo gapapa? Soonyoung kan?” Tanya Mingyu lagi untuk memastikan Sahabatnya baik-baik saja setelah memutuskan hubungan dengannya dan mulai bergantung pada Kwon Soonyoung.

“Serius. Lo tau kan gue orangnya ga suka ngulang dua kali terus di paksa? Nah udah gue iyain tuh anak jadi lo ga perlu lagi jagain gue karena ada Soonyoung yang jalanin amanah dari ibu gue”

“Syukurlah, Soonyoung anaknya baik gue percaya kok sama dia tapi kan ya gue ga deket banget deng hehehe”

“Jan ngarang bisa kagak? Lo mah sotoy banget dianya aja baru disini kek udah kenal berapa lama aja lo”

“Ya tapi di lihat-lihat dia tuh kek anak ayam ngikutin lo sana-sini. Pagi-pagi udah absen aja main ke kelas sini buat nanyain lo 3 hari kemaren udah datang apa belum.”

“Masa sih?”

“Yeu ga percayaan amat, tapi tumben loh hari ini kagak kemari tuh anak”

“Ck! tuh kan gue jadi lupa gara lo ah!”

“Woi main lempar aja untung kagak rusak ipon gue”

“Lebay lo ah!”

Jihoon melempar ponsel Mingyu sembarangan kemudian berlari sekencang mungkin keluar ruangan kelasnya dan mejawab kalimat Mingyu sepenangkapnya.

“Hati-hati! Lari liat jalan! Jan kenceng-kenceng woi jantung lo lemah!! LEE JIHOON! bader banget dah” Tegur Mingyu.


Lee Jihoon, pemuda berumur 18 tahun dimana sepenjuru SMA ini tahu bahwa ia adalah Juara Umum Paralel yang memiliki penyakit kardiovaskular yang biasa di sebut penyakit jantung bawaan dari lahir yang di turunkan dari gen ibunya.

Pagi ini seisi murid yang melewati lorong terus memperingati murid yang satu-satunya memiliki smarwartch dengan pendeteksi detak jantung di sekolah ini berlari dengan batas maksimalnya menuju ke kelas paling ujung di lorong ini.

“Woi Jihoon pelan-pelan ntar di marahin pak Bima!”

“Jihoon hati-hati nanti kambuh”

“BUSET LEE JIHOON!”

“dia yang lari gue yang engap”

“YANG DI UJUNG TOLONG TANGKEO JIHOON SURUH BERENTI GUE GA MAU DI STRAP BAPAK COLAK!”

Hingga teriakan peringatan terakhir barusan masuk ke telinga Soonyoung yang berada di ujung lorong, ia pun langsung menangkap Jihoon yang hampir kehabisan nafasnya sebelum beberapa langkah lagi ia hampir sampai di tempat Soonyoung berdiri sebelumnya.

“Jihoon? Jihoon? Jihoon bangun Ji”

Dan berakhir lah pemuda mungil itu di UKS.


“ahh!!!! Aisss!!! Soonyoung? Soonyoung?!!!”

“Ji, ini aku Soonyoung disini. Kamu gapapa? Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Soonyoung sambil memegang kedua tangan Jihoon yang baru saja siuman.

Jihoon pun menghembuskan nafas lega setelah tau bahwa disampingnya Soonyoung bukan lagi Mingyu teman kecilnya.

“Kamu gapapa kan ji? Aku khawatir loh kamu lari-lari kaya tadi. Nanti kamu jatuh gimana? Jangan ulangin lagi ya? Janji!”

Bukannya mengaitkan jari kelingkingnya, Jihoon malah memeluk Soonyoung kemudian menghembuskan nafas lega sekali lagi. Soonyoung yang baru pertama kali di peluk semenjak perkelanan mereka 3 hari yang lalu pun terkejut akan tingkah Jihoon yang secara tiba-tiba saat ini. Ia di buat kebingungan atas perlakuan Jihoon padanya.

“Ji—”

“Soon”

“Iya Jihoon” Jawabnya pelan.

“Makasih ya”

“Buat?”

“Makasih udah sigap nangkep gue tadi, makasih juga udah tepatin janji lo, dan selamat lo selamat dari tes pertama dari gue”

“Iya? Gimana?”

Jihoon bukannya menjawab, ia malah menjauhkan tubuhnya dari Soonyoung yang membeku di depannya kemudia menjulurkan tangannya meminta bantuan agar mengalihkan pembicaraan Soonyoung.

“Bantuin berdiri, gue mau ke kelas”

“Mau di gendong aja ga? Aku takut kamu masih ga sanggup buat jalan”

“Alah lebay banget, gue ga selemah itu soon. Cukup pegang pundak gue kuat aja sampe kelas udah. Ayo cepetan keburu jam pertama nih!”

Tanpa basa-basi bak mengikuti pintah Jihoon, Soonyoung langsung membantu Jihoon masuk ke kelasnya dengan berjalan perlahan sambil memegang kuat kedua pundak Jihoon. Sepanjang jalan ia berkalut dalam pikirannya sendiri akan kejadian yang amat tak bisa ia pungkiri akan terjadi.

“kenapa, apa, dan siapa yang membuat Jihoon sangat sentimental hari ini dari pada hari sebelumnya?”

Pertanyaan itu yang sedari tadi terus terulang sampai saat ini ia sudah berada di kelasnya.


Sekarang, di kamar Jihoon ada dua pemuda yang sedang duduk tak bersuara satu sama lain di ujung tempat tidur. Keduanya ragu untuk memulai percakapan karena obrolan terakhir yang ditinggal pada sebuah pesan singkat. Soonyoung mencuri pandang dari ujung ekor matanya pada Jihoon yang menunduk sambil memainkan bibirnya, mencoba memalingkan wajahnya perlahan agar dapat melihat jelas bagaimana rupa Jihoon saat sedang berada di situasi canggung ini.

Bulu mata yang melentik serta pipi gembilnya yang bulat berwarna rona merah muda bersemi di sana membuat Soonyoung tak tahan untuk menggapainya. reflek Jihoon menepis tangan Soonyoung kemudian mengajaknya untuk berbicara karena tujuan Soonyoung kesini memang untuk membicarakan suatu hal yang tak diketahui maksudnya.

“Ck! Katanya mau ngomong? Ini ngapain sih?”

“Pipi kamu” Ucap Soonyoung dengan mata bulat berbinarnya.

“Kenapa? Pipi gue kenapa?”

Soonyoung malah tertawa kekeh kemudian mengusap pelan puncak kepala Jihoon bersamaan dengan senyum teduhnya.

“Lucu, gemes, kaya bakpao hehe”

Lagi-lagi Jihoon menepis tangan Soonyoung agar menjauh darinya karena ia saat ini tersipu malu terhadap skinship yang dilakukan Soonyoung padanya barusan.

“Ck ngapain sih hiperbola banget. Cepetan ngapain lo kesini?”

Soonyoung pun meluruskan duduknya agar menghadap Jihoon dengan leluasa, ia masih tersenyum sambil membawa tangan Jihoon yang lebih mungil dari tangannya ke dalam genggamannya sebelum ia berbicara.

“Aku sebenarnya mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi janji ga marah”

“Iyaya” Gubris Jihoon singkat

“Beneran?” Dibuahi deheman acuh oleh Jihoon.

“Tangannya mana dulu” Sambil mengangkat jari kelingkingnya kepada Jihoon.

Jihoon hanya bisa menghela nafas sambil memutar matanya malas, kemudian mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Soonyoung sebagai tanda ia telah berjanji suatu hal kepada pemuda di depannya ini.

“Udahan ayo cepetan gue mau tidur siang!” Jihoon mulai bosan dengan tarik ulur Soonyoung dan ia pun mulai mendesak Soonyoung untuk menyudahi percakapan ini dengan cepat. Soonyoung pun memulai langsung ke inti tujuannya.

“Oke-oke, jadi gini sebenarnya tuh aku sayang sama Jihoon. Aku sayang banget pokoknya, tapi aku belum bisa mendeskripsikan rasa sayang aku ini ke Jihoon itu kayak lebih dari sekedar teman. Bisa dibilang aku sayang sama Jihoon karena aku mau ngelindungin Jihoon, mau terus di samping Jihoon, mau jadi sahabat Jihoon yang bisa diandalkan buat selama-lamanya. Tapi aku belum bisa ke titik dimana aku mau kita tuh saling suka. Jadi aku minta Jihoon buat bersabar ya, aku tau Jihoon suka sama aku kan dari dulu?”

Jihoon dengan cepat memukul kepala Soonyoung dengan bantal empuknya, kemudian memukul dada Soonyoung dengan kekuatan sedang hingga si empu merasa kesakitan.

“Bego lo! Keluar gak!” Usir Jihoon.

“Lah kok di suruh keluar?”

“Lo sih ngadi banget! Semenjak kapan gue suka sama lo?”

“Teteh ira yang bilang kalau kamu suka sama aku dari kita awal ketemu”

“Dan lo… -PERCAYA?”

“Iya lah, kan aku juga sayang sama Jihoon”

“Buset astagfirullah kelakuan” Ucap Jihoon sambil memijat keningnya.

Dengan tak sopannya Jihoon menarik tangan Soonyoung untuk keluar meninggalkan kamarnya, kemudian ia masuk kembali kedalam kamar tak lupa pula mengunci pintu kamar dari dalam hingga Soonyoung berteriak minta dibukakan.

“Jihoon! Jihoon! Buka pintunya kita belum selesai ngobrol!”

“Terserah anjir! Lo kagak mikir apa? GUE MALU!”

Jihoon pun mengacak rambutnya di balkon setelah meminum beberapa macam obat racikan resep dari dokter pribadinya.


tw// attempted suicide

Mengulang hari dengan kegiatan yang sama membuat seorang idol terkenal jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Ia kini terus berjalan mengikuti kemana langkah kakinya melangkah demi menghindari acara penting yang mengharuskan ia berada disana.

Mengosongkan pikiran dan membawa raut wajah yang kusut di sepanjang jalan, hingga ia berhenti di sebuah jembatan penghubung antar kota. Menaiki pinggiran pagar pembatas tanpa menggunakan alas kaki dan bersiap meloncat menuju dasar Sungai terkenal di Seoul, Sungai Han.

Bodohnya pemuda tampan itu, ia hanya memikirkan bagaimana cara mengakhiri hidup dengan mudah tanpa berpikir bahwa sesungguhnya ada sosok yang akan menghampirinya sebentar lagi dengan maksud yang berbeda.

“Woi!” Panggilnya kepada pemuda yang hendak ingin melakukan aksinya.

Pemuda itu merasa terpanggil dan menghentikan pergerakannya. Menoleh kiri dan kanan sebelum ia menunjuk dirinya sendiri kemudian bertanya pada pemuda berpakaian nyentrik di belakangnya.

Ia mengangguk sambil mengunyah permen karet di dalam mulutnya. Kemudian menarik kaki pemuda tampan tersebut hingga ia tergeletak di trotoar.

Pemuda itu mengaduh sakit saat ia mencoba membantunya berdiri, lalu seseorang itu berjalan menjauh dari pemuda bernama Soonyoung tersebut. Soonyoung pun berlari untuk menghentikan langkah seseorang tersebut namun ia menghilang saat Soonyoung sentuh, hingga ia tiba-tiba terkejut saat pria yang ia coba panggil sebelumnya berdiri disampingnya sambil menaruh lengannya di bahu Soonyoung.

“Ya! Goblok! Lo mau loncat kan tadi?” Tanya pemuda itu kepada Soonyoung masih mengunyah permen karetnya tanpa henti.

Soonyoung yang merasa aksinya telah di ketahui oleh seseorang pun mencoba membalikan tubuhnya untuk menjauh pergi dari pemuda disampingnya namun gagal karena ia terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

“Aisshh sial!”

“Makanya kalau orang tanya tuh di jawab! Iya kan?” Ucap pemuda itu memastikannya sekali lagi. Soonyoung terbawa amarah ia pun berdiri kemudian meninggikan nada suaranya sambil menunjuk pemuda yang lebih mungil darinya itu.

“IYA, EMANG KENAPA KALAU GUE COBA BUNUH DIRI? APA MASALAHNYA BUAT LO? APA HAK LO BUAT NANYAIN GUE? PERGI DARI SINI GA USAH GANGGU GUE!”

Setelah berhasil memojokan pemuda asing itu dengan amarahnya hingga ia terdiam membisu, Soonyoung dengan segera naik ke atas pagar pembatas kemudian lompat dengan bebas dari sana hingga jatuh ke tengah Sungai Han.

“BANGSAT BENERAN LONCAT SI KAMBING!”

Pemuda itu kemudian menyusul Soonyoung dengan melompat ke Sungai setelah terlambat berteriak guna menghentikan Aksi Soonyoung sebelumnya.

Berenang menuju kebawah berusaha mendapatkan tangan Soonyoung agar bisa ia naik kepermukaan. Namun semuanya terlambat karena Soonyoung kehabisan nafas dan pergerakannya terhenti membuat tubuh mereka berdua semakin menuju ke dasar sungai.


Kalau bukan karena sepupu gue, mana rela gue jagain pintu buat absen terus cari yang namanya Jauzan atau Ajan(?) atau apa lah itu namanya. Ya kali gue masuk pelajaran pertama, mana fisika lagi. Ngebosenin banget dah, mending makan di kantin sampai ulangan matematika.

Selama kenaikan kelas baru kali ini lah gue datang terlalu awal dan kenalan sama temen sekelas gue. Padahal yah, ini tuh udah mau masuk pertengahan semester sedangkan gue baru tau bentukan teman sekelas. Jangan kan teman sekelas, teman sebangku aja gue kagak tau selain di kasih tau Ikwan buat masuk.

Nah balik lagi nih ke Gue, Kenzo sama Ragil lagi ngabsen anak lokal gue di ambang pintu masuk ke kelas buat nyari dimana anak yang namanya Jauzan atau Ajan yang Ikwan sebut di chat barusan. Demi sepupu nih gue rela ngeskip nyebat di pagi hari.

Pertama anak cewek segerombolan pen masuk langsung Ragil cegat pake kakinya terus tanya nama mereka satu-satu dan kayanya ga ada yang namanya Jauzan atau Ajan di antara mereka. Kalau kata Kenzo mah: “Yaiyalah goblok! Kan Jauzan laki” Iya sih, emang gue nya aja yang mau ngebegoin diri sendiri.

Next ada cowo rambut pirang pake kacamata terus maskernya duckbil, tasnya asus. Dah lah ini mah wibu, tapi ga boleh di skip! Harus tanya namanya.

“Heh wibu, nama lo Jauzan bukan?”

Bukannya ngejawab malah benerin kacamata terus di pakein ke gue, abis itu malah muka gue di sodorin ke dadanya buat baca nama panjangnya di seragam. Ternyata wibu ini bukan Jauzan malah namanya Rojak.

Oke dah lanjut kita ke target berikutnya yang stylenya agak belibet kek anak punk. Piercing magnetnya alay banget sumpah, agak gelay tapi mari kita tanya apakah dia Jauzan temennya Ikwan? Kalau bener gue bakalan misahin mereka.

“Jauzan bukan?”

Di tanya malah ngedance, capek.

“Kalau bukan Jauzan minggat gih, gue ga punya duit kecil buat lu”

At least, Kenzo baku hantam ama tuh anak. Kasian... Kenzo menang.

Nah kali ini ada... BOCIL? Anak SMP kenapa nyasar kesini? Ga sih, keknya beneran anak SMA sini dah ga mungkin salah liat. Eh bener dong anak kelas gue, mari kita tanya soalnya gemes banget pen cubit pipinya terus gue kasih permen hehe.

“Adek manis~~ namanya siapa dah? Jauzan bukan?”

DIANYA SENYUM YA ALLAH MANIS BANGET BUSET KAGAK BOONG!

“Hai pororo, iya benar aku Jauzan. Ada apa ya?”

“Pffttt.... HAHAHAHAHAHAHAHA PORORO?”

Kampret si Kenzo sama Ragil ngetawain gue? Gila bener perkara plaster kemaren ga sih? Kenapa bisa tau?

“Heh bocil! Sembarangan aja manggil pororo, gue punya nama”

“Ya lagian lo nya kemaren gue bantuin malah diam aja, padahal udah mau ngulurin tangan buat kenalan lo nya ogahan. Jadi gue panggil aja pororo”

“Lo juga ye bocil ngadi banget ngasih plaster gambar pororo, emang gue kek lo bocah bau minyak telon?”

Lah? Kesinggung apa gimana? Langsung cabut anaknya. Tahan ah! Urusan lom kelar.

“Jauzan!”

“Kenapa? Udah puas roastingnya?”

Nah untung nengok lagi, masa ngambek perkara minyak telon. Padahal emang kenyataannya baunya begitu.

“Ye... yang mulai duluan siapa? Btw kalau beneran nama lo Jauzan, si ikwan titip pesan sama gue tadi kalau dia lagi di bk”

“Oh”

Wait... Gitu doang? Kagak ada reaksi tambahan gitu? Demi ape? Gue udah belain kagak nyarap pagi ini demi dia tapi malah di gubris “Oh” Doang? Sakit hati gue.

Awas lo bocil, liat aja lo.


Kata Ami gue punya kembaran yang sekarang dia udah jadi salah satu dari ribuan bintang yang berserakan di gelapnya langit malam ini. Saran Ami sih cari aja bintang yang paling terang dari segala bintang, nah itu si Fauzan.

Sekarang gue udah duduk di rooftop di temani dengan secangkir susu coklat panas dan sayupnya angin malam hingga gue bisa menghirup aroma terapi dari minyak telon yang barusan gue pake sebelum kesini.

Kali ini gue ga bawa gitar soalnya pengen menikmati malam yang cukup cerah ini dengan keadaan sunyi. Karena rasa penasaran dari cerita Ami di dalam surat kemarin, gue ingin melakukan hal yang sama seperti Ami sama Abi lakukan tiap pengen curhat ke alam semesta, lebih tepatnya ke Fauzan.

Ragu sih pengen curhat juga ke Fauzan, soalnya kalau gue ngomong sendiri takutnya tetangga ngeliat gue kaya orang stress. Tapi apa salahnya kalau kegiatan itu menguntungkan gue sekaligus meringankan beban pikiran gue.

Sebenarnya masalah hidup gue tuh ga seberat masalah Ami sama penyakitnya. Masalah gue cuman sekecil atom. ya, gue kangen kedua orang tua gue.

Karena udah kebiasaan di manjain, di perhatiin, semua kegiatan di lakuin bareng-bareng hingga seketika gue jadi sadar kalau gue ga selamanya harus di bimbing sama mereka. Gue juga ngerasa bersalah karena udah egois dan kurang perhatiin di sekitar gue, sampai Ami sakit parah kaya gini aja gue ga tau.

Karena perihal itu gue jadi nyalahin diri gue sendiri, ngurung diri, dan menjadi diri gue yang lain sebelum orang tua gue berangkat cari obat buat Ami kesana kemari di berbagai negara.

Sekarang gue udah di rooftop dan di depan gue juga ada pemandangan lepas ibu kota dengan berselimut langit malam yang yang cerah di taburi kerlap kerlip bintang. So, harus kah gue coba apa yang Ami sama Abi lakukan dikala mereka lagi butuh tempat curhat? Apa Fauzan bisa jaga rahasia gue? Apa Fauzan beneran bisa jadi Diary lisan gue? Jujur gue masih ragu buat ngelakuin hal yang sama itu sekarang.


PLAK!!

“Dasar anak durhaka! Udah berapa kali babeh bilangin sama elu buat berenti jadi joki jalanan! Emang dasar anak ga tau di untung! Uangnya haram goblok! Haram!!! Anak siapa sih lu hah?”

“Udah ncang udah kasian Nasrul mukanya babak belur, ncang juga kasian asmanya ntar kambuh” Lerai Ikwan guna menyudahi penganiayaan pamannya kepada sepupunya.

Pemuda yang seumuran dengan Ikwan itu pun bangkit dari ketergeletakannya di lantai setelah mendapat beberapa pukulan dan luka di bagian wajahnya. Seperti mati rasa, ia mengusap pelipisnya yang luka dengan kuat kemudian berjalan cepat menuju pintu keluar rumahnya. Ikwan dan Ayahnya hanya bisa menghembuskan nafas kasar karena batunya anak tersebut dan membiarkan ia pergi dengan meninggalkan amarah di rumahnya.

Tak terasa satu jam ia berjalan mengikuti langkah kakinya bersama dengan beberapa luka dan juga kucuran darah, Kini pemuda yang kerap di panggil dengan sebutan 'Nasrul' di kalangan keluarganya berhenti tepat di tengah jalan saat lampu hijau pada jalan raya menyala.

Jalanan itupun di penuhi dengan suara klakson dan sorot mata bersamaan dengan riuhnya sahutan yang tertuju kepadanya, membuat pemuda itu hanya bisa berdiri tanpa melangkah dari tempat ia berpijak saat ini. Menundukan kepalanya seolah ia sedang di hukum di tengah keramaian.

Pemuda itu masih berdiam diri hingga lampu merah menyala tak berniat untuk bergerak sedikit pun, hingga seseorang yang sama kesalnya dengan pengguna jalan lainnya menarik ia untuk menepi ke seberang di pinggir trotoar.

“Hei? Kamu baik-baik aja kan?” Ucap seseorang tersebut kepadanya. Ia hanya bisa menatap lamat kedua sepatu sneakersnya dan enggan untuk menatap seseorang yang sudah menolongnya dari amarah pengguna jalan.

Seseorang tersebut tak lama mendudukan pemuda tersebut di atas trotoar dan mengeluarkan kotak p3knya dari jok motor. Kemudian menghapus beberapa sisa darah yang mengering di bagian wajahnya dengan alkohol sehingga si pemilik wajah mengaduh sakit tanpa melihat siapa yang sudah menolongnya.

Setelah langkah akhir dari pertolongan pertama seseorang yang menolong pemuda tersebut, ia hanya bisa memberi beberapa plaster dan juga obat pengar kepadanya. Kemudian mengucapkan beberapa kalimat sebelum ia melanjutkan perjalanannya.

“Lukanya agak dalam kamu bisa ikut aku ke klinik atau ga kamu obatin di rumah aja. Ini aku kasih plaster yang sama bahannya juga halus ga bakalan mudah kemasukan debu anti infeksi gitu. Ini juga obat pengar kayanya kamu abis minum alkohol, jangan lupa di minum ya! Sekarang! Aku pergi dulu ga bisa lama-lama, semoga cepat sembuh” Lirihnya panjang.

Saat seseorang itu hendak bangkit dari duduknya, pemuda itu menahan pergelangan tangannya yang mungil hingga dapat dengan cepat pemuda itu menahannya. Kalimat “terima kasih” Yang keluar begitu lemah dari bibir pemuda itu membuat seseorang yang sudah menolongnya hanya bisa membalas dengan mengacak lembut surai tipis pemuda tersebut sebelum ia benar-benar pergi meninggalkannya.

“Sial, gue belum tanya namanya siapa. Suaranya sopan banget masuk telinga, mana baik banget lagi. Fiks sih idaman” ucap pemuda itu di dalam hati.


Dear, Anak ami yang paling cakep mirip ami nya. Sebelum ami mau cerita untuk kado ultah ajan yang 17 tahun ini, Ami mau ngucapin Selamat tumbuh dewasa sayang. di umur yang ke 17 tahun ini ajan yang kuat ya nak. nantinya ajan di umur ini akan tau apa aja dan gimana orang dewasa memulai menjalani hari-hari dengan segala sesuatu yang baru dalam hidup mereka.

Ajan akan di ajarkan bagaimana tumbuh dewasa tanpa bantuan kedua orang tua ajan lagi, walaupun ajan udah mulai sebelum ajan beranjak dari umur 16 ke 17 tahun. Abi sama Ami minta maaf akan hal itu, sekali lagi maafin ami ya sayang.

Awalnya emang berat tapi segala proses itu harus di jalanin secara pelan-pelan seperti kata Abi kamu. Gagal itu hal yang wajar karena dari situ kamu mulai menyadari letak kesalahan yang harus kamu perbaiki di masa yang akan datang.

Di saat ajan terpuruk jangan pernah merasa kalau ajan sendirian. Lihat ke belakang nak, ada ami, abi, om figo, ayah bona dan oma opa yang selalu di samping ajan. Ajan jangan ragu untuk sesekali mengadu kalau ajan udah ga sanggup lagi. Kami siap nyambut ajan kapan pun ajan lelah dengan kenyataan.

Kenapa ami bilang begitu? Karena ami sama abi udah nyoba asinnya air laut duluan nak.

Untuk kedepannya ajan harus jadi anak yang kuat ya! Janji sama ami sama abi, kalau capek bilang jangan di pendam sendiri.


Nah kali ini ami mau bahas tentang perkembangan ajan dari sudut pandang om figo selama ami sama abi ga ada di samping ajan. Katanya ajan jadi pendiam, nutupin diri, makannya ga teratur, main gitar sama piano sampai begadang, bikin tugas sampai mimisan, jajan ajan sering hilang itu gimana ceritanya? KAMU DI PALAK APA GIMANA?

Huffft....

Lain kali ami denger laporan kek begini dari om figo lagi, ami ga segan-segan suruh ajan home Schooling aja dari pada masuk SMA Negeri. Ami gini bukannya marah tapi ami khawatir sama kamu nak. Khawatir ajan kenapa-kenapa pas ami sama abi ga ada di samping ajan.

Pokoknya ajan janji ya jangan begitu lagi, jangan tutupin diri, jangan bikin benteng diantara keluarga kita. Ingat! Abi ga pernah ajarin kamu kaya gitu, ami juga ga pernah ngelakuin hal yang nyeleneh sewaktu ajarin ajan buat jadi introvert. Ingat nak kamu punya keluarga yang lengkap.

Janji pokoknya ajan harus janji sama ami titik. Kalau ga ami ngambek sama ajan ga mau cium ajan tiap ajan mau tidur.


Last, ami mau kasih tau sebuah rahasia. Rahasia dimana setengahnya ami, abi, sama ajan yang tau dan sisanya kita berdua doang hehe.

Setengah rahasia yang kita bertiga yang mau ami sama abi kasih tau sama ajan adalah kalau ajan itu dulu punya kembaran, namanya Fauzan Al-fikri Afsan.

Dia ninggalin kita bertiga di menit kesepuluh setelah dia lahir kedunia. Masih muda banget ga sih udah di sayang Allah aja, semoga lain kali giliran ami hehe. GA SAYANG BERCANDA!

Si Fauzan ini adik ajan, kalian lahir prematur jadi ya begitu lah haha. Ajan pasti udah paham kenapa bisa Fauzan ninggalin Ajan duluan. Sekarang Ajan udah jadi bintang nak. Kalau kamu mau kenalan, tegur sapa, kamu pandang aja langit malam.

Say hi sama bintang yang paling terang, nah dia Fauzan kembaran Ajan. Ami juga sering gitu, kadang abi juga sering cerita sama Fauzan. Ami juga mau Ajan jadiin Fauzan jadi tempat curhat Ajan selain akun gembokan atau sama abi ami.

Semoga kalian akur ya, ami sih minta nya begitu hehe.


Sekali lagi deh ami mau kasih tau sesuatu. Ini masalah yang sering terjadi di umur 17 tahun. Yes, that's right. Puberty hahaha.

Kalau bisa ami maunya Ajan cari yang sesuai tipe ajan aja. Jangan dipaksain kalau beneran ajan ga suka sama dia. Wajar sih di umur segini belum tertarik sama cinta-cintaan. Tapi sekalinya bucin ajan bakalan berada di siklus kaya anak sd pacarannya ngumpet-ngumpet alias cinta monyet hahaha.

Gapapa sayang, itu normal. Tapi kalau ajan tanya ami sukanya calon mantu ami gimana itu ciri-cirinya kurang lebih kaya gini: pipinya bulat, bibir bawahnya sexy, bentuk matanya dan tatapannya tajam, lemah lembuh dan sayang banget sama ajan, sayangin ajan kaya gimana ami sama abi sayang sama ajan. Pokoknya mah intinya yang terbaik buat ajan aja deh.

Heheh maaf ya ami malah lebih mandang ke fisik duluan, demi kebaikan ajan hehe. Udah sih keknya segitu doang, ami juga ga abis pikir ini yang ami tulis apaan hahaha.

Pokoknya wish you all the best anak ku, selamat tumbuh dewasa dan ingat ami sama abi sayang banget sama kamu nak.

Love you, Ajan.


“Beneran abi ga nangis dua hari kemarin?” Tanya Jinan sambil mengusap pipi gembil Aksar yang sedang menutupi wajahnya yang basah di bahu Jinan.

“Hei?~ ayo dong jangan nangis hehe. Sini liat aku kak”

“Jangan panggil kak, kan udah jadi abi”

Jinan hanya bisa tertawa saat melihat Aksar menangkal sebutan 'kak' yang tersemat kembali pada dirinya setelah Jinan membawa wajahnya untuk saling bertatapan. Perlahan pula Jinan mengusap air mata di pipi Aksar, mengecup dahi, kedua pipi serta bibir plum Aksar singkat guna menenangkan suaminya.

Perlahan kepalanya ia rebahkan pada dada bidang Aksar, kemudian kedua tangannya mengalung pada tengkuk suaminya. Membuat Aksar kebingungan akibat Aksinya, Jinan mencubit ujung hidung Aksar kemudian menepuk bahunya pelan: “Tadi ke atas katanya mau bantu aku naik ke tempat tidur kenapa malah nangis? Tolongin ayo hahaha”

Suara tawa menggema di dalam kamar Jinan karena dua sejoli itu menertawakan kepolosan Aksar. Perlahan Aksar mengangkat tubuh Jinan dan menggendongnya untuk naik ke atas tempat tidur, lalu membantu Jinan untuk bersandar pada sandaran kasur dengan lembut.

Tak beberapa lama Jinan sudah merasa nyaman pada posisinya dengan Aksar yang sudah duduk di ujung kasur, Tiba-tiba Figo masuk sambil menggendong bayi mereka yang menangis karena kelaparan. Jinan pun mengulurkan tangannya untuk membawa si kecil pada pangkuannya untuk diberi asi. Sontak hal yang wajar Jinan lakukan itu membuat Figo membalikan badannya secepat kilat.

“WOI BUKA BAJU LIAT TEMPAT DONG!”

Seketika ruangan itu kembali di hadir dengan suara gelak tawa. Figo kebingungan dan mengedarkan pandangannya pada Aksar yang tertawa terbahak sambil mengelus surai halus anaknya.

“Masha allah Figo, itu wajar. Tapi kamu juga wajar kaget karena belum terbiasa. Sini duduk di sebelah abang, soalnya abang sama Jinan mau minta tolong kamu bantuin cariin nama buat anak kita.”

“Oh iya aku sampai lupa si manis ini belum dikasih nama hahahaha” Sahut Jinan bersamaan dengan kekehan kecilnya.

“Oke deh sini gue cari google” Ucap Figo pula sambil berjalan untuk duduk di ujung kasur bersama Aksar.

“Jangan google ih, manual dong” Protes Jinan pada adiknya.

“Yaudah bentar gue mikir dulu” Jawab Figo kembali.

“Dilihat-lihat si kecil mirip Jinan ya?” Tanya Aksar kepada dua kakak beradik itu.

dengan cepat mereka berdua menangkal dan menunjuk Aksar secara bersamaan: “NGGAK! MANA ADA MIRIP KAMU/ABANG TAU!” jawaban sinkron tadi menggelitik perut Aksar sekali lagi.

“Hahaha iya iya, mirip aku. Jadi namanya siapa?” Tanyanya kembali.

“Aksar junior?!” Pekik Figo

“Itu nama bapaknya! Ntar dipanggil dua-duanya yang nengok, yang lain” Protes Jinan kembali.

“Jauzan? Gimana?” Tanya Aksar

“Ih keren, ngapain susah susah suruh gue ikutan nyari?”

“Kamu yang lengkapin buat nama lengkapnya Figo”

“Ohhh~”

“Gitu aja geblek”

“Dih”

Setelah aksi saling menyahut antara dua kakak beradik itu, Figo menggaruk tengkuknya yang gatal sambil berpikir sambungan untuk pelengkap nama awal dari keponakannya yang sudah di tentukan oleh Aksar sebentar, Kemudian ia teringat akan satu hal.

“Jauzan al-fikri Afsan? Jauzan J-nya dari awalan nama lo, al-fikri tuh ya gitu deh bang Aksar pasti paham, Afsan marga bang Aksar. Gimana?”

“Mirip banget sama bapaknya haha suka nih gue” Ucap Jinan sambil memukul dada Figo.

“Jan mukul mukul napa sih sakit!”

“Boleh tuh, aku juga udah masukin ke note biar nanti ga lupa pas peresmian”

“Okey sip, hello baby Jauzan!” Ucap Figo langsung yang pertama memanggil Anak Aksar dan Jinan dengan nama yang mereka berikan. Tentu saja Keduanya tersenyum gembira saat si bayi merespon dengan menggenggam tangan Figo saat namanya di panggil.

Tw//character death


Seisi ruangan rawat inap dimana Jinan tengah terbaring lemas tak sadarkan diri menggema suara tangisan dari sanak saudara dan kerabat dari Aksar dan Jinan yang datang untuk melihat kehadiran dua buah hati mereka. Berkabung menitikan air mata, dan dengan berat hati merelakan salah satu dari si kecil yang baru saja hadir kedunia kini telah di renggut kembali dalam rengkuhan sang ilahi.

Aksar yang sedang menunggu Jinan siuman sambil menggendong bayinya hanya bisa merenung tanpa menitikan satu tetes air mata seperti yang lain lakukan di sekitarnya. Sangat ingin sekali ia bergabung dengan mereka yang sedang menangisi kepergian anaknya, namun air matanya seperti terbelenggu dan tak di perbolehkan keluar dari bendungan pelupuk matanya.

Setelah 5 jam dari kepergian si kecil, Khenan dan Anugrah pun tiba di rumah sakit dan mulai menangis dari pintu masuk hingga bersujud di bawah kaki Aksar. Ayah dari si bayi hanya bisa menetap pada posisi awalnya sembari menunggu sang suami yang sedari tadi belum terjaga dari tidur panjangnya karena efek dari bius.

Bona masuk keruangan sambil mengecek keadaan Jinan, seluruh keluarga protes dan merasa khawatir karena penanganan yang lama dari rumah sakit kepada Jinan. Setelah di periksa beberapa perawat masuk dan mendorong tempat tidur Jinan keluar guna memindahkan Jinan ke ruangan yang lebih tenang, sebab hasil pemeriksaan dari bona Jinan sudah terjaga sedari berita kematian sudah tersebar hingga sanak saudara memasuki ruangannya. Stress berat yang di alami Jinan membuat tensinya naik karena menahan diri agar tidak menampakan sisi kehilangannya.

Aksar dan Jinan di beri ruang privasi untuk mereka berdua menenangkan diri. Seluruh keluarga dari ruangan sebelumnya juga sudah sampai di rumah duka, tepatnya di rumah orang tua Jinan. Proses pemakaman juga berlangsung pada sore hari setelah ashar tanpa kehadiran kedua orang tua dari si kecil yang telah meninggalkan mereka.

Melangkahkan kaki dengan langkah sempoyongannya, Jihoon menuju ke rooftop rumah sakit setelah mengamuk karena suster menyuntikannya bius penenang karena trigger yang di buat oleh ayahnya sendiri kepadanya.

Dengan langkah yang tertatih-tatih, Jihoon akhirnya sampai juga di rooftop. Tampa ragu ia naik ke atas tembok pembatas dan berniat untuk melompat dari ketinggian gedung berlantai 16 tersebut.

Berseringai renyah bersamaan keluar dengan air mata yang sudah di ujung pelupuknya. Surai hitamnya yang terbelai angin dan juga baju pasien yang berukuran oversize pada tubuhnya menjadi saksi bahwa ia siap lahir batin untuk memulai aksi bunuh dirinya.

Tanpa sepatah kata pun, Jihoon menghembuskan nafasnya perlahan kemudian memulai menjatuhkan badannya kedepan, namun aksi gila tersebut cepat di hentikan oleh seorang pemuda yang tampaknya seumuran dengan Jihoon.

“Woi! Lo gila apa ya? Hei bangun-.... “

Suara samar barusan hanya tertangkap sebentar tanpa lanjutan di telinga Jihoon sebelum ia jatuh dalam kukuhan pemuda tersebut dan tak sadarkan diri.


“Jihoon, nak?! Ini Om Seokmin. Om mohon buka mata kamu nak” Panggil Seokmin sang paman membantu Jihoon menyadarkan diri.

Lama edaran penglihatan Jihoon sebelum akhirnya ia sadar sepenuhnya, tak berselang beberapa menit ia salah fokus di sudut pintu. Dengan lemahnya ia menaikan jari telunjuknya yang mengarah pada pintu masuk sebagai isyarat menanyakan kepada pamannya. Sontak Seokmin mengerti kemudian menjelaskannya kepada Jihoon.

“Ah? Dia? Dia Mingyu, anak dari pemilik rumah sakit ini. Dia yang udah nolongin kamu, tapi dia ga bisa nolongin kamu sampai di IGD soalnya dia juga lagi di rawat jalan karena patah tulang. Bilang makasih gih sama Mingyu dia udah belain gendong kamu padahal dia lagi cedera”

Seharusnya Seokmin tak berhak berucap seperti itu, karena membuat Jihoon tak enak hati dan tanpa sengaja membuat Mingyu merasa malu dan terbebani. Maka hal itu Jihoon memanggil Seokmin dengan gestur tangannya yang lemah seperti memanggilnya untuk mendekat. Setelah Seokmin mendekati Jihoon tiba-tiba Jihoon memukuk kepala Seokmin sebagai pelajaran untuknya yang tak berlaku sopan kepada seseorang yang sudah menolongnya.

“Lah? Jihoon kok om di geplak sih?”

Karena Jihoon masih dalam pengaruh bius berdosis tinggi dan kondisinya kali ini sangat lemah, Jihoon mengusir Seokmin untuk keluar dan meninggalkan ia sendiri dengan Mingyu, si pemuda sepantaran Jihoon yang sudah menolongnya.

Jihoon memberi isyarat agar Mingyu yang mendekat kali ini. Pemuda itu pun menurut dan duduk di samping tempat tidur Jihoon. Menantikan perintah selanjutnya dari seseorang yang sedang memakai selang oksigen di depannya. Tak lama Mingyu mendapatkan ucapan terima kasih dari Jihoon dalam gerakan bahasa isyarat dan untungnya Mingyu mengerti arti dari gerakan Jihoon.

“Sama-sama, Jihoon. Jihoon kan yak namanya??” Tanyanya kemudian yang di tanya mengangguk pelan dengan gerakan yang ambigu.

Tulang pipi si pemuda tersebut terangkat naik ketika melihat respon Jihoon. Ia pun reflek memberi Jihoon jabatan tangan sebagai tanda mereka akan mengawali pertemanan mereka.

“Salam kenal Jihoon, semoga kita bisa berteman baik”

“Me too” Balas Jihoon dengan suaranya yang kecil.

“Udah ga usah di jawab, jabat aja tangan gue. Kasian lo ngepaksain diri lo terus dari tadi. Istirahat gih! “

Entah mengapa seperti terkena sebuah mantra sihir, Jihoon pun menutuo matanya, ia langsung beristirahat setelah Mingyu menyuruhnya untuk beristirahat.

“Lucu banget” Gumam si pemuda yang baru saja Jihoon terima dalam hidupnya hari ini.