byeolcyro

Alternatif Universe SoonHoon Archives

Setelah mengakhiri percakapan dari via chatting, Jihoon bergegas mengambil jaketnya pada lemari kemudian menuju ke luar rumah untuk menunggu sang ayahandanya menuju ke kediaman mereka. Tak lama sedan hitam terparkir di depan rumah, seseorang keluar dari kursi penumpang membentangkan tangannya agar anak semata wayangnya berhamburan memeluk dirinya.

“Ayah!” — “Aduh aduh anak ku” Sahut kedua ayah dan anak itu.

“Jihoon kangen ayah”

“Ayah juga kangen Jihoon”

“Tapi Jihoon kangen ibu”

Soonyoung tersentak beberapa menit sebelum ia mengecup puncak kepala anaknya dan membawa masuk menuju meja makan.

Makan malam berlangsung dengan tenang, saling melempar jawaban dan pertanyaan satu sama lain hingga bersenda gurau karena sudah lama tak menghabiskan waktu selama ini, membuat kedua pipi tulang pipi mereka terangkat berdampingan dengan mata yang berbinar menatap satu sama lain.

Beberapa selang waktu selesai makan malam Jihoon berjalan menuju kamar ayahnya, kemudian meminta izin untuk tidur bersama di ruangannya malam ini.

“Ayah… boleh?” Tanyanya kepada Soonyoung yang sedang mengeringkan rambutnya di samping jendela.

“Of course sayang, why not?! Sini!” Jawabnya menyuruh Jihoon agar mendekat padanya.

Jihoon pun melangkah menuju Soonyoung, kemudian mendudukan ayahnya di pinggir kasur. Mengambil handuk kecil yang Soonyoung pakai untuk mengeringkan rambutnya kini menjadi pekerjaannya. Perlahan Jihoon mengusap rambut pria berumur 38 tahun tersebut dengan hati-hati dengan tautan mata mereka yang saling bertemu.

Soonyoung tersipu malu karena putranya memandangnya dengan ekspresi yang begitu menggemaskan hingga ia tak sanggup melihat dan memutuskan untuk menyembunyikan wajahnya di perut putranya.

“Ayah? Hahaha ngapain ih geli yah!”

“Jihoon..”

“Hngg?”

“Kamu udah gede aja sayang. Kapan kamu tumbuh sebesar ini? Kok ayah ga tau?”

Ingin sekali Jihoon menjawab seperti “itu karena ayah ga merhatiin pertumbuhan gue” Namun ia tidak ingin menyakiti hati orang tuanya. Dan Jihoon memutuskan untuk menjawabnya dengan lelucon aneh yang di sukai Soonyoung.

“Itu mah karena ayah ga perhatiin telur ayam yang ditaruh di inkubator kantor ayah hahaha”

“Oh iya? Emang ada disana? Kamu ngasal nih pasti ya?” Usil Soonyoung sambil menggelitik putranya.

“Ahahahaha ayah udah cukup! Geli! Hahaha.. Ayah tuh mau aja percaya, udah tau aku cuman bercanda”

“Ya siapa tau beneran”

Jihoon hanya terkekeh kecil kemudian memalingkan pandangannya tanpa sengaja dan tak sengaja pula melihat foto keluarga yang tak bisa dikatakan foto keluarga karena hanya menampilkan dua lelaki di sana. Soonyoung yang menyadari hal tersebut menarik Jihoon untuk berbaring di atas tempat tidurnya, kemudian menenggelamkan Jihoon dalam dekapannya sambil mengatakan: “kamu anak hebat, kamu anak ayah. Jangan khawatir — jangan khawatirkan lagi semuanya salah ayah bukan salah Jihoon. Ingat ya nak salah ayah”

Dalam diam, Jihoon semakin menelusupkan wajahnya pada dada bidang ayahnya untuk menyembunyikan air mata yang tak bisa berbendung lagi.

Setelah mengakhiri percakapan dari via chatting, Jihoon bergegas mengambil jaketnya pada lemari kemudian menuju ke luar rumah untuk menunggu sang ayahandanya menuju ke kediaman mereka. Tak lama sedan hitam terparkir di depan rumah, seseorang keluar dari kursi penumpang membentangkan tangannya agar anak semata wayangnya berhamburan memeluk dirinya.

“Ayah!” — “Aduh aduh anak ku” Sahut kedua ayah dan anak itu.

“Jihoon kangen ayah”

“Ayah juga kangen Jihoon”

“Tapi Jihoon kangen ibu”

Soonyoung tersentak beberapa menit sebelum ia mengecup puncak kepala anaknya dan membawa masuk menuju meja makan.

Makan malam berlangsung dengan tenang, saling melempar jawaban dan pertanyaan satu sama lain hingga bersenda gurau karena sudah lama tak menghabiskan waktu selama ini, membuat kedua pipi tulang pipi mereka terangkat berdampingan dengan mata yang berbinar menatap satu sama lain.

Beberapa selang waktu selesai makan malam Jihoon berjalan menuju kamar ayahnya, kemudian meminta izin untuk tidur bersama di ruangannya malam ini.

“Ayah… boleh?” Tanyanya kepada Soonyoung yang sedang mengeringkan rambutnya di samping jendela.

“Of course sayang, why not?! Sini!” Jawabnya menyuruh Jihoon agar mendekat padanya.

Jihoon pun melangkah menuju Soonyoung, kemudian mendudukan ayahnya di pinggir kasur. Mengambil handuk kecil yang Soonyoung pakai untuk mengeringkan rambutnya kini menjadi pekerjaannya. Perlahan Jihoon mengusap rambut pria berumur 38 tahun tersebut dengan hati-hati dengan tautan mata mereka yang saling bertemu.

Soonyoung tersipu malu karena putranya memandangnya dengan ekspresi yang begitu menggemaskan hingga ia tak sanggup melihat dan memutuskan untuk menyembunyikan wajahnya di perut putranya.

“Ayah? Hahaha ngapain ih geli yah!”

“Jihoon..”

“Hngg?”

“Kamu udah gede aja sayang. Kapan kamu tumbuh sebesar ini? Kok ayah ga tau?”

Ingin sekali Jihoon menjawab seperti “itu karena ayah ga merhatiin pertumbuhan gue” Namun ia tidak ingin menyakiti hati orang tuanya. Dan Jihoon memutuskan untuk menjawabnya dengan lelucon aneh yang di sukai Soonyoung.

“Itu mah karena ayah ga perhatiin telur ayam yang ditaruh di inkubator kantor ayah hahaha”

“Oh iya? Emang ada disana? Kamu ngasal nih pasti ya?” Usil Soonyoung sambil menggelitik putranya.

“Ahahahaha ayah udah cukup! Geli! Hahaha.. Ayah tuh mau aja percaya, udah tau aku cuman bercanda”

“Ya siapa tau beneran”

Jihoon hanya terkekeh kecil kemudian memalingkan pandangannya tanpa sengaja dan tak sengaja pula melihat foto keluarga yang tak bisa dikatakan foto keluarga karena hanya menampilkan dua lelaki di sana. Soonyoung yang menyadari hal tersebut menarik Jihoon untuk berbaring di atas tempat tidurnya, kemudian menenggelamkan Jihoon dalam dekapannya sambil mengatakan: “kamu anak hebat, kamu anak ayah. Jangan khawatir — jangan khawatirkan lagi semuanya salah ayah bukan salah Jihoon. Ingat ya nak salah ayah”

Dalam diam, Jihoon semakin menelusupkan wajahnya pada dada bidang ayahnya untuk menyembunyikan air mata yang tak bisa berbendung lagi.

Soonyoung berjalan santai sambil menendang kerikil di atas trotoar, ia bersenandung kecil dan membuat suasana tak semakin sunyi di kala ia sendirian.

Baru setengah perjalanan, Soonyoung berhenti karena terperanjat oleh pemandangan di depannya hingga membuat emosi dalam dirinya bergejolak. Ingin rasanya ia melayangkan sebuah pukulan di wajah pria yang sedang menarik paksa tangan Jihoon hingga rintihan Jihoon dapat Soonyoung dengar dalam jarak 3 meter dari tempat ia berdiri saat ini.

“JIHOON!” Teriaknya. Yang di panggil pun menoleh dengan linagan air mata di pipinya kemudian menjawab sahutan di seberang sambil menyebut namanya.

“SOONYOUNG TOLONGIN SOONYOUNG! AKHH!!”

“DIAM!” Ucap Pria yang masih memaksa Jihoon masuk ke mobilnya.

Keinginan Soonyoung tadi terwujudkan dalam hitungan detik, layangan pukulan ke arah wajahnya hingga pria itu reflek melepaskan genggaman kuatnya pada pergelangan tangan Jihoon.

“Jihoon sini!” Pintah Soonyoung,

Jihoon pun menurut dan bersembunyi di balik Soonyoung ketakutan.

“Heh?! Lo siapa berani maksa Jihoon masuk ke mobil lo?” Tanya Soonyoung pada pria di depannya.

“Yang harusnya nanya begitu gue tau! Lo siapa berani ikut campur?”

“Gue? Gue teman sekantornya? Kenapa?” Jawab Soonyoung

“Belagu lo ye! Beraninya ikut campur! Sini lo maju!”

“Dih nantangin siapa takut! HIYAA!!!!”

“SOONYOUNG!”

BUAKHH!!

“AKHH!!!”

“Soonyoung!!! Kamu gapapa?”

“Ji...”

“Soonyoung?!”

Jihoon membuat semuanya berimpas kepada Soonyoung, karena seruannya barusan memanggil Soonyoung mengakibatkan pergelangan tangan Soonyoung cedera akibat benturan benda keras yang pria aneh itu lakukan sebelum melarikan diri menjauh dari mereka.

Kini Jihoon membawa Soonyoung duduk di kursi taman yang tak jauh dari kejadian barusan guna mengobati pergelangan tangan Soonyoung yang cedera. Dapat terlihat warna kebiruan di sana membuat Jihoon khawatir dengan teramat pada Soonyoung.

“Duh?! Soon. Ini gimana? Sakit banget pastikan?” Tanya Jihoon kepada Soonyoung sambil menangis penuh rasa bersalah.

Soonyoung yang tak merasakan apapun hanya bisa tersenyum karena terhanyut dalam lamunan saat menatap wajah Jihoon yang menangis gemas di depannya.

“Soonyoung! Hiks, jawab!”

“Eh? Gapapa kok Jihoon, ga sakit sih cuman mati rasa aja”

“Ih tuh kan! Kamu tuh aku bilang bawa ke puskesmas deket sini aja ga mau! Sekarang aku ga bisa ngapa-ngapain selain paksa kamu supaya mau ke rumah sakit buat di rontgen!”

“Husss! Apaan sih lebay banget? Ga perlu segitunya. Serius ini cuman mati rasa dan keknya kamu bisa tanganin”

“Gimana caranya? Dimana juga yang mati rasa sini kasih tau aku” Ucap Jihoon.

Soonyoung tetap lah Soonyoung. Seribu macam cara ia akan menjahili Jihoon hanya untuk melihat wajah kesal yang menggemaskan baginya, dan Soonyoung perlahan memulai aksinya.

“Disini”

“Dimana? Sini?”

“Iya dimata nih kamu tiup aja”

Jihoon dengan polos meniup mata yang sama sekali tidak termasuk dalam list terkena dampak benturan tadi.

“sini juga nih”

“Di sini?”

“Iya disitu- aw!!”

“Aduh huhu maaf soon aku ga sengaja maaf”

Kali ini mendarat di tempat yang benar pada pergelangan tangannya. Dan kemudian—

“Ji, ada satu lagi tempat yang mati rasa”

“Dimana? Kasih tau aku” Tanya nya serius.

“Sini?”

Jihoon membeku kemudian menampar Soonyoung dan berlalu pergi.

“Padahal disini emang mati rasa Ji, kalau lo cium sih hehe”


Soonyoung dengan santai menenteng bag paper berisikan barang milik Jihoon yang tertinggal di apartemennya kemudian masuk kedalam ruangan divisi melalui lorong yang sama dengan divisi yang lainnya.

Yang tadinya bibirnya bersiul sambil berjalan santai pun kini merasa melamban setelah rumor tentang kejadian kemaren yang melibatkan satu nama didalam rumor, yaitu Lee Jihoon.

“tau ga sih ketua direksi marketing tuh orangnya durhaka, masa orang tuanya ga dinafkahi”

“oh my goddess, demi apa?”

Semakin ia mendekati pintu masuk divisinya semakin ramai pembicaraan tentang rumor tersebut terdengar masuk ke telinganya. Semakin cepat pula tapakan kaki Soonyoung karena kekhawatirannya tentang perasaan Jihoon jikalau ia mendengarkan rumor ini.

“sampai dia dorong orang tuanya loh— EH SOONYOUNG!!! KENAPA TARIM TARIK AKHH!!!”

kalimat barusan membuat Soonyoung naik pitam saat masuk ke lorong telinganya. Menarik kerah dari sumber suara kemudian menatapnya tajam sambil menentang kalimat rekan kerjanya di divisi lain yang menyebar fitnah.

“Bisa ga sih jangan nebar fitnah?! KAPAN JIHOON DORONG ORANG TUANYA?! GUE BERANI JADI SAKSI MATA KALAU LO TUH FITNAH!”

Karena teriakan kuat Soonyoung barusan membuat seseorang yang baru saja berdiri di ujung lorong terdiam beberapa detik, kemudian menarik tangan Soonyoung agar keluar dari sana.

“Mampus Jihoon denger”

“lu sih ah!”


“Ji, aku benar kan? Aku bisa kok kasih bukti kamu ga dorong orang tua kamu” Tegas Soonyoung berbicara kepada Jihoon yang masih menariknya hingga ke taman di depan gedung perusahaan tanpa menggubris ocehan Soonyoung sedari tadi.

“Jihoon aku mohon kamu jangan dengarin apa yang mereka bilang aku bisa jadi saksi matanya kok. Jih—”

Soonyoung terkejut karena tangan mungil Jihoon sedang menutup mulutnya agar diam. Mematung beberapa detik kemudian Jihoon berjalan kembali menuju cafe di seberang dengan Soonyoung yang mengekornya dari belakang.

Saat mereka berdua mulai menguyah pesanan mereka, tiba-tiba segudang pertanyaan mendorong Soonyoung agar bertanya kepada rekan kerja yang lebih muda darinya di depannya ini.

Penuh keraguan Soonyoung pun memilih untuk mengembalikan barang Jihoon di sini sebagai awal topik pembicaraan mereka.

“Nih, cuman boxer kamu doang yang tinggal di apart aku”

Kalimat tersebut tanpa sengaja membuat Jihoon tersedak hingga mereka menjadi pusat picingan mata dari para pelanggan di cafe tersebut.

“Ya? Kamu tuh ngomong ga ingat tempat apa gimana? Jangan kuat-kuat dong kan malu” Ucap Jihoon sambil berbisik kepada Soonyoung namun di balas dengan anggukan beserta gelak tawa renyahnya.

“Hihihi maaf maaf, ya soalnya canggung banget tau!”

“Canggung gimana? Kan aku minta kamu jelasin kejadian malam tadi aku cuman ingat sampai aku benar-benar udah minum alkohol 3 gelas doang. So setelahnya aku ngapain sampai ada di apartemen kamu?” Tanya Jihoon panjang.

“Jadi kamu tuh keluar waktu semuanya udah pulang, aku bilang kamu udah pulang duluan jadi aku pergi aja jalan toh rumahku dekat. Jadi pas mulai ngelangkah kamu malah narik tangan aku bilangin tungguin kamu, eh malah pingsan. Karena ga tau rumah kamu, yaudah ku angkut kerumah ku aja” Jelas panjang Soonyoung.

“Makasih”

“Hah?”

“Makasih udah tolongin aku dua kali”

Sontak kalimat tersebut membuat Soonyoung mengedipkan matanya beberapa kali kemudian memegang dahi Jihoon dan juga mencubit Jihoon agar membuktikan barusan adalah suatu kenyataan.

“I-ini benaran? Kamu ngomong terimakasih sama aku? Ga salah?” Tanya Soonyoung

“Ih! Sakit tau! Ngga salah kok. Kenapa sih kaya ga pernah liat aku baik aja” Jawab Jihoon dengan percaya diri.

“Hehehe ya kirain mimpi gitu. Iya udah deh sama-sama. Lain kali kalau kamu butuh bantuan panggil aku aja. Kalau aku bisa bantu bakalan aku bantu kok” Santai Soonyoung berbicara sambil menarik kedua ujung bibirnya tersenyum lebar.

Jihoon yang melihat hal tersebut membuatnya tertawa kemudian mencoba menjauhilu Soonyoung kembali.

“Ya kan kamu emang suruhan aku hahahaha”

“Ya tuhan bahasanya suruhan banget? Ga ada yang lain apa?”

“ga hahahaha”

Keduanya tertawa ringan karena guyonan mereka sendiri kemudian berhenti karena Jihoon meneguk segelas air dan Soonyoung mulai menyendok makanannya masuk ke mulut bersamaan dengan rasa canggung menyelimuti keduanya kembali.

“Soonyoung” “Jihoon keduanya meneriaki nama lawan bicara dengan serempak.

“Aku dulu deh” Ucap Jihoon.

“Sok atuh silahkan”

“Kamu ga boleh kaya tadi ya! Jangan kesulut api amarah. Pura-pura ga denger aja toh yang mereka bilang tuh aku bukan kamu” Larang Jihoon.

“Ya merekanya fitnah kamu sih, siapa yang ga kesel coba”

“aku hahahaha”

“Jihoon...” Dengan nada cemberut Soonyoung memanggil Jihoon hingga si empu nama kembali tertawa lucu.

“Hahahaha iya Soonyoung, kenapa?”

“Kamu yang kuat ya! Jangan dengarin omongan mereka tadi. Yang seharusnya pura-pura ga denger tuh kamu. Kalau emosi getok aja kepalanya gapapa. Tapi tetap kamua kamu butuh bantuan panggil aku aja. Dan cukup aku aja jadi rival kamu jangan nambah-nambah. Ga seru tau!”

Kalimat Soonyoung membuat Jihoon mengerutkan alisnya dengan kebingungan. Setelah itu ia pun berdiri sambil mengusap acak rambut Soonyoung kemudian berlalu pergi menuju kasir.

“Dih, gue lebih tua dari lo ye! Main pegang aja kepala gue”

“Maaf kak Soonyoung! Hahaha ayo aku yang bayar, terus masuk ke kantor buat kerja.”

Mereka pun berjalan kembali menunu ruangan mereka. Di dalam lift begitu sunyi hingga Jihoon ingin memulai pembicaraan asalnya.

“Soon”

“hmmm?”

“Kamu ga bisa excel kan?”

“Jan ngejek bisa ga sih? Baru tadi juga akur”

Jihoon tertawa kembali sambil memukul lengan Soonyoung hingga mengaduh dan kembali ke pembicaraan mereka.

“Ini beneran loh, kamu ga bisa kan? mau aku bantuin?” Tawar Jihoon tulus

“Eh? Beneran boleh? Bisa beneran nih bantuin?” Tanya Soonyoung tak percaya.

“Iya beneran”

“okey kalau gitu di cafe tadi nanti abis pulang aku bawa laptop kesana gimana? Deal?”

“Deal”

Mereka pun berjabat tangan dan segera menuju ke ruangan divisi mereka bersama tanpa memudarkan senyum di wajah mereka sambil tak acuh pada bisikan rumor orang orang di sepanjang perjalanan mereka menuju ruangan.

“biasanya mereka ga akur kok sekarang aku?

“tadi juga Soonyoung mendadak bela Jihoon, ada apa tuh di antara keduanya?”

Percakapan barusan di tangkap oleh seseorang, kemudian berlalu pergi dengan seringai di wajahnya.


“Terima kasih atas kerja samanya hari ini, kalian sudah bekerja keras. Mari kita lanjutkan ke pertemuan kedua. Selamat sore.”

Setelah sesi penutupan acara rapat sore itu lebih awal dari yang mereka berdua duga. Jihoon dan Soonyoung langsung membereskan meja mereka di ruang rapat kemudian masuk ke lift untuk segera turun dari gedung dan menuju ketempat acara makan malam perusahaan.

Sunyi tanpa suara hingga lift mulai turun dan berada di lantai 13, Jihoon yang sedari tadi merogoh kantong celananya tiba-tiba menekan tombol menuju ke F17. Soonyoung dengan bingung menanyakan kepada Jihoon apa yang sedang terjadi dan apa yang dia cari.

“Kenapa?”

“Ada yang tinggal, kamu turun aja dulu nanti aku nyusul” Ucap Jihoon sambil berlari keluar saat pintu lift terbuka. Soonyoung pun enghiraukannya dan segera turun ke lantai dasar sendirian.

Saat ia berada di lobby, pintu masuk sangat ricuh dan membuat sumber ribut tersebut menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Soonyoung yang penasaran pun mendekat kemudian menenangkan situasi dengan bertanya kepada dua wanita dan pria paruh baya dengan baju yang lusuh di depannya ini.

“Maaf permisi, tuan dan nyonya. Sebetulnya ada apa ya?” Tanya Soonyoung sambil menatap setiap orang agar mendapat jawaban. Lalu petugas keamanan menghampiri Soonyoung dan menjelaskan sesuatu kepadanya sambil berbisik.

“Orang tua ini mengaku kalau mereka orang tuanya Pak Lee Jihoon. Sungguh aku tak percaya kalau mereka benar orang tua dari Pak Lee Jihoon.”

“ITU BENAR! KAMI ADALAH ORANG TUA LEE JIHOON.” Teriak pria tua yang tampak sempoyongan itu dengan bau alkohol yang menyengat menempel pada tubuhnya.

“Ah?! Benarkah? Kalau begitu aku akan memanggil Lee Jihoon. Dia satu divisi dengan ku.” Kata Soonyoung bertujuan menenangkan pria tua itu.

“Terima kasih nak, terima kasih banyak. Saya sangat bersyukur kamu mau menolong kami dari pada penjaga ini. Terima kasih banyak” Ucap wanita itu sambil membungkuk kepada Soonyoung.

Soonyoung hanya menyengir canggung sambil menunggu Jihoon mengangkat telfonnya dan tak lama panggilan itu tersambung.

“Halo, Ji. Ini ada orang tua kamu nyariin di lobby. Bisa kebawah sebentar?”

”.....”

“Oh lagi di lift? Oke deh. cepetan ya. —tunggu sebentar ya buk Jihoonnya lagi di—”

“Kenapa kalian kesini?” Lantang suara Jihoon berteriak sambil berlari menuju ke arah Soonyoung dan orang tuanya berdiri, hingga suaranya menggelegar di penjuru lobby.

Mendengar suara anaknya, kedua orang tua itu segera berlutut di hadapan Jihoon sambil menampakan tangisan palsu mereka. Memohon seperti budak yang meminta harta lebih kepada sang raja dan membuat Jihoon jengkel.

“Jihoon, bantu ibu nak bantu ibu!!”

“Bantu ayah dan ibu mu ini nak” Ucap mereka.

“Kenapaa... Kenapa kalian kemari? Apakah yang sebelumnya tidak cukup hingga aku menjual harga diri ku?” Tanya Jihoon kepada kedua orang tuanya hingga suara bisikan sekelilingnya masuk ke indra pendengaran.

“Mohon anakku, kasihanilah kami. Adik-adikmu akan masuk keperguruan tinggi sementara itu rumah kita akan di sita” Sandiwara yang bagus hingga Jihoon mendengus dengan tubuh yang gemetar.

“Rumah kita? Aku ga punya rumah dan aku juga ga punya keluarga. Ini! pungut dan jangan pernah menemuiku lagi” Jihoon mengeluarkan selebaran uang dan menghamburkannya di lantai kemudian berjalan keluar dari pintu masuk gedung tersebut.

Soonyoung yang berdiri di antara kedua anak dan orang tua itu hanya kebingungan dan mematung setelah mendengar perkataan Jihoon barusan langsung menyusul atasan yang lebih muda darinya itu menuju keluar.


Soonyoung dapat melihat betapa bergetarnya punggung Jihoon dari belakang sini. Setiap manusia memiliki rasa empati hingga Soonyoung pun ingin menenangkan Jihoon, Hanya saja api dendamnya pada pria kecil ini belum padam dan yang hanya ia bisa lakukan adalah diam.

Saat keduanya masuk kedalam restoran, Jihoon menampakab senyum palsunya kepada para atasan dan kariyawan. Seperti mencoba untuk berbaur dengan nyaman tanpa membuat seseorang tahu apa yang sedang terjadi padanya.

Timbul rasa kekhawatiran pada Soonyoung, tanpa ia sadari bahwa ia sendiri memperhatikan Jihoon dari awal hingga detik ini.

“Hoi! Cie liatin Jihoon nie cie cie!!!! Hahahaha” Goda Seokmin di sebelah Soonyoung yang menyadari bahwa rekannya ini memperhatikan atasan mereka.

“Apaan sih lo, makan gih sono yang banyak biar gede”

“Dih dih ngomongin orang pandai lu ye! Lu juga perlu nutrisi dan lemak biar kecintaan lo sama ngegym bertambah”

“Bercandaan lo garing. Mending diem dah lu seok” Tangkal Seungcheol yang bertujuan meleraikan mereka berdua.

Makan malam perusahan telah usai dan semua kariyawan berhamburan keluar dengan sempoyongan karena terlalu banyak minum minuman keras.

“Oi nyong, balik dulu ya. Gue antar nih anak berdua dulu pulang. Lo bisa pulang sendiri kan?” Tanya Seungcheol kepada Soonyoung sambil mengangdeng kedua sahabatnya yang sudah tak kuat berdiri itu.

“Iya gapapa, lagian arah rumah kita berlawanan.”

“Yoi, balik dulu”

“Yop”

Hening, menyisakan ia seorang diri. Soonyoung pun mulai melangkah namun tangannya di tahan oleh seseorang di belakangnya yang sudah menyandarkan dahinya di tengah punggung Soonyoung.

“Tungguhhh~ tungguin aku soon.”

“Jihoon?! Eh! Eh!”

BRUKKK!!!

Pria mungil itu tergeletak di trotoar karena hilangnya keseimbangan saat berdiri. Soonyoung pun segera menggendong Jihoon lalu membawanya ke apartmen Soonyoung yang hanya berjarak beberapa gedung saja dari restoran yang mereka singgahi bersama tadi.


“Terima kasih atas kerja samanya hari ini, kalian sudah bekerja keras. Mari kita lanjutkan ke pertemuan kedua. Selamat sore.”

Setelah sesi penutupan acara rapat sore itu lebih awal dari yang mereka berdua duga. Jihoon dan Soonyoung langsung membereskan meja mereka di ruang rapat kemudian masuk ke lift untuk segera turun dari gedung dan menuju ketempat acara makan malam perusahaan.

Sunyi tanpa suara hingga lift mulai turun dan berada di lantai 13, Jihoon yang sedari tadi merogoh kantong celananya tiba-tiba menekan tombol menuju ke F17. Soonyoung dengan bingung menanyakan kepada Jihoon apa yang sedang terjadi dan apa yang dia cari.

“Kenapa?”

“Ada yang tinggal, kamu turun aja dulu nanti aku nyusul” Ucap Jihoon sambil berlari keluar saat pintu lift terbuka. Soonyoung pun enghiraukannya dan segera turun ke lantai dasar sendirian.

Saat ia berada di lobby, pintu masuk sangat ricuh dan membuat sumber ribut tersebut menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Soonyoung yang penasaran pun mendekat kemudian menenangkan situasi dengan bertanya kepada dua wanita dan pria paruh baya dengan baju yang lusuh di depannya ini.

“Maaf permisi, tuan dan nyonya. Sebetulnya ada apa ya?” Tanya Soonyoung sambil menatap setiap orang agar mendapat jawaban. Lalu petugas keamanan menghampiri Soonyoung dan menjelaskan sesuatu kepadanya sambil berbisik.

“Orang tua ini mengaku kalau mereka orang tuanya Pak Lee Jihoon. Sungguh aku tak percaya kalau mereka benar orang tua dari Pak Lee Jihoon.”

“ITU BENAR! KAMI ADALAH ORANG TUA LEE JIHOON.” Teriak pria tua yang tampak sempoyongan itu dengan bau alkohol yang menyengat menempel pada tubuhnya.

“Ah?! Benarkah? Kalau begitu aku akan memanggil Lee Jihoon. Dia satu divisi dengan ku.” Kata Soonyoung bertujuan menenangkan pria tua itu.

“Terima kasih nak, terima kasih banyak. Saya sangat bersyukur kamu mau menolong kami dari pada penjaga ini. Terima kasih banyak” Ucap wanita itu sambil membungkuk kepada Soonyoung.

Soonyoung hanya menyengir canggung sambil menunggu Jihoon mengangkat telfonnya dan tak lama panggilan itu tersambung.

“Halo, Ji. Ini ada orang tua kamu nyariin di lobby. Bisa kebawah sebentar?”

”.....”

“Oh lagi di lift? Oke deh. cepetan ya. —tunggu sebentar ya buk Jihoonnya lagi di—”

“Kenapa kalian kesini?” Lantang suara Jihoon berteriak sambil berlari menuju ke arah Soonyoung dan orang tuanya berdiri, hingga suaranya menggelegar di penjuru lobby.

Mendengar suara anaknya, kedua orang tua itu segera berlutut di hadapan Jihoon sambil menampakan tangisan palsu mereka. Memohon seperti budak yang meminta harta lebih kepada sang raja dan membuat Jihoon jengkel.

“Jihoon, bantu ibu nak bantu ibu!!”

“Bantu ayah dan ibu mu ini nak” Ucap mereka.

“Kenapaa... Kenapa kalian kemari? Apakah yang sebelumnya tidak cukup hingga aku menjual harga diri ku?” Tanya Jihoon kepada kedua orang tuanya hingga suara bisikan sekelilingnya masuk ke indra pendengaran.

“Mohon anakku, kasihanilah kami. Adik-adikmu akan masuk keperguruan tinggi sementara itu rumah kita akan di sita” Sandiwara yang bagus hingga Jihoon mendengus dengan tubuh yang gemetar.

“Rumah kita? Aku ga punya rumah dan aku juga ga punya keluarga. Ini! pungut dan jangan pernah menemuiku lagi” Jihoon mengeluarkan selebaran uang dan menghamburkannya di lantai kemudian berjalan keluar dari pintu masuk gedung tersebut.

Soonyoung yang berdiri di antara kedua anak dan orang tua itu hanya kebingungan dan mematung setelah mendengar perkataan Jihoon barusan langsung menyusul atasan yang lebih muda darinya itu menuju keluar.


Soonyoung dapat melihat betapa bergetarnya punggung Jihoon dari belakang sini. Setiap manusia memiliki rasa empati hingga Soonyoung pun ingin menenangkan Jihoon, Hanya saja api dendamnya pada pria kecil ini belum padam dan yang hanya ia bisa lakukan adalah diam.

Saat keduanya masuk kedalam restoran, Jihoon menampakab senyum palsunya kepada para atasan dan kariyawan. Seperti mencoba untuk berbaur dengan nyaman tanpa membuat seseorang tahu apa yang sedang terjadi padanya.

Timbul rasa kekhawatiran pada Soonyoung, tanpa ia sadari bahwa ia sendiri memperhatikan Jihoon dari awal hingga detik ini.

“Hoi! Cie liatin Jihoon nie cie cie!!!! Hahahaha” Goda Seokmin di sebelah Soonyoung yang menyadari bahwa rekannya ini memperhatikan atasan mereka.

“Apaan sih lo, makan gih sono y