Ini caraku untuk memulai.


Jihoon baru sampai di sekolah dan langsung bergegas menuju ke kelasnya guna menaruh tas di bangku tempat ia duduk agar segera menemui Soonyoung. Ia melewati meja paling depan dimana ada Kim Mingyu teman masa kecilnya yang menyapanya namun ia abaikan.

“Kiw! Manis~ dih cuek banget elah. Mau kemana sih? Riweh banget dah pagi-pagi?”

Jihoon pun menoleh ke belakang pada arah Mingyu kemudian menarik dasinya kokoh hingga pemuda berbadan besar darinya itu bergeser mengikis jarak antara wajah mereka berdua. Karena aksi Jihoon barusan, Mingyu hanya bisa meneguk salivanya sambil menunggu kejadian tak disangka apa lagi yang akan Jihoon lakukan padanya hari ini.

“Lo—”

Mingyu pun mengangguk.Jihoon melanjutkan kalimatnya kembali.

“—Jangan pernah hubungin gue lagi, jangan pernah ikut campur urusan gue lagi, jangan pernah juga khawatirin gue dan tolongin gue lagi. Karena sekarang posisi lo udah di ganti sama anak baru. “

“Hah? Demi apa Lee Jihoon lo kagak jadi benalu hidup gue lagi?” Tanya Mingyu heran sambil menukik alisnya karena kebingungan.

Jihoon hanya berdehem, Mingyu langsung melontarkan pertanyaan berikutnya.

“Siapa?“

“Kwon Soonyoung” Ucapnya sambil mengambil ponsel Mingyu di saku almamaternya, kemudian menonaktifkan alat pelacak yang tersambung pada smartwatch heart ratenya.

“Kwon Soonyoung? Serius? Ji, lo gapapa? Soonyoung kan?” Tanya Mingyu lagi untuk memastikan Sahabatnya baik-baik saja setelah memutuskan hubungan dengannya dan mulai bergantung pada Kwon Soonyoung.

“Serius. Lo tau kan gue orangnya ga suka ngulang dua kali terus di paksa? Nah udah gue iyain tuh anak jadi lo ga perlu lagi jagain gue karena ada Soonyoung yang jalanin amanah dari ibu gue”

“Syukurlah, Soonyoung anaknya baik gue percaya kok sama dia tapi kan ya gue ga deket banget deng hehehe”

“Jan ngarang bisa kagak? Lo mah sotoy banget dianya aja baru disini kek udah kenal berapa lama aja lo”

“Ya tapi di lihat-lihat dia tuh kek anak ayam ngikutin lo sana-sini. Pagi-pagi udah absen aja main ke kelas sini buat nanyain lo 3 hari kemaren udah datang apa belum.”

“Masa sih?”

“Yeu ga percayaan amat, tapi tumben loh hari ini kagak kemari tuh anak”

“Ck! tuh kan gue jadi lupa gara lo ah!”

“Woi main lempar aja untung kagak rusak ipon gue”

“Lebay lo ah!”

Jihoon melempar ponsel Mingyu sembarangan kemudian berlari sekencang mungkin keluar ruangan kelasnya dan mejawab kalimat Mingyu sepenangkapnya.

“Hati-hati! Lari liat jalan! Jan kenceng-kenceng woi jantung lo lemah!! LEE JIHOON! bader banget dah” Tegur Mingyu.


Lee Jihoon, pemuda berumur 18 tahun dimana sepenjuru SMA ini tahu bahwa ia adalah Juara Umum Paralel yang memiliki penyakit kardiovaskular yang biasa di sebut penyakit jantung bawaan dari lahir yang di turunkan dari gen ibunya.

Pagi ini seisi murid yang melewati lorong terus memperingati murid yang satu-satunya memiliki smarwartch dengan pendeteksi detak jantung di sekolah ini berlari dengan batas maksimalnya menuju ke kelas paling ujung di lorong ini.

“Woi Jihoon pelan-pelan ntar di marahin pak Bima!”

“Jihoon hati-hati nanti kambuh”

“BUSET LEE JIHOON!”

“dia yang lari gue yang engap”

“YANG DI UJUNG TOLONG TANGKEO JIHOON SURUH BERENTI GUE GA MAU DI STRAP BAPAK COLAK!”

Hingga teriakan peringatan terakhir barusan masuk ke telinga Soonyoung yang berada di ujung lorong, ia pun langsung menangkap Jihoon yang hampir kehabisan nafasnya sebelum beberapa langkah lagi ia hampir sampai di tempat Soonyoung berdiri sebelumnya.

“Jihoon? Jihoon? Jihoon bangun Ji”

Dan berakhir lah pemuda mungil itu di UKS.


“ahh!!!! Aisss!!! Soonyoung? Soonyoung?!!!”

“Ji, ini aku Soonyoung disini. Kamu gapapa? Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Soonyoung sambil memegang kedua tangan Jihoon yang baru saja siuman.

Jihoon pun menghembuskan nafas lega setelah tau bahwa disampingnya Soonyoung bukan lagi Mingyu teman kecilnya.

“Kamu gapapa kan ji? Aku khawatir loh kamu lari-lari kaya tadi. Nanti kamu jatuh gimana? Jangan ulangin lagi ya? Janji!”

Bukannya mengaitkan jari kelingkingnya, Jihoon malah memeluk Soonyoung kemudian menghembuskan nafas lega sekali lagi. Soonyoung yang baru pertama kali di peluk semenjak perkelanan mereka 3 hari yang lalu pun terkejut akan tingkah Jihoon yang secara tiba-tiba saat ini. Ia di buat kebingungan atas perlakuan Jihoon padanya.

“Ji—”

“Soon”

“Iya Jihoon” Jawabnya pelan.

“Makasih ya”

“Buat?”

“Makasih udah sigap nangkep gue tadi, makasih juga udah tepatin janji lo, dan selamat lo selamat dari tes pertama dari gue”

“Iya? Gimana?”

Jihoon bukannya menjawab, ia malah menjauhkan tubuhnya dari Soonyoung yang membeku di depannya kemudia menjulurkan tangannya meminta bantuan agar mengalihkan pembicaraan Soonyoung.

“Bantuin berdiri, gue mau ke kelas”

“Mau di gendong aja ga? Aku takut kamu masih ga sanggup buat jalan”

“Alah lebay banget, gue ga selemah itu soon. Cukup pegang pundak gue kuat aja sampe kelas udah. Ayo cepetan keburu jam pertama nih!”

Tanpa basa-basi bak mengikuti pintah Jihoon, Soonyoung langsung membantu Jihoon masuk ke kelasnya dengan berjalan perlahan sambil memegang kuat kedua pundak Jihoon. Sepanjang jalan ia berkalut dalam pikirannya sendiri akan kejadian yang amat tak bisa ia pungkiri akan terjadi.

“kenapa, apa, dan siapa yang membuat Jihoon sangat sentimental hari ini dari pada hari sebelumnya?”

Pertanyaan itu yang sedari tadi terus terulang sampai saat ini ia sudah berada di kelasnya.