Arunika di Natuna
[A-ru-ni-ka / di / Na-tu-na] (Fajar pagi di Natuna)
» Tags; Fantasy, Melodrama, Romance. CW and TW; Mention of blindness due to accidents, death, Blood, 18+ scene, Trauma recovery, Get lost, and Family Issue. Note: ⏪ flashback on & ⏩ flashback off Cast; Lee Jihoon, Kwon Soonyoung, Kim Mingyu.
***
Credit |Parade Karsa by @CARATS_Festival
Prolog
Suamiku pernah berkata bahwa; “kampung halamanku biasa disebut tanah surga, kenapa demikian? Karena Natuna adalah harta karun tuhan yang tersembunyi.”
Semenjak itu, Natuna ingin sekali ku kunjungi sebagai tempat bulan madu pertama kami setelah menikah —beberapa bulan yang lalu.
Mungkin karena menariknya cerita suamiku yang terus-menerus membandingkan keindahan alam di sana dengan yang ada Jakarta Atau bisa jadi karena cerita legenda yang sering masyarakat sekitar sebut Hulu Bala dan si Penyembuh —dengan sekali jentikan jarinya berwujud Manusia Harimau, Gala Natuna.
Namun pupus sudah harapanku untuk menuju Natuna. Kemalangan menimpa kudua minggu yang lalu saat kami dalam perjalanan menuju bandara —hingga tempat berbulan madu kami menjadi tempat rehabilitasi pasca kecelakaan. Mau tidak mau, aku mengunjungi Natuna sendiri tanpa orang terkasih.
Apakah dengan hadirnya aku di Natuna bisa mengobati rindu ku pada seseorang yang membuatku berniat berkunjung kemari?
Diriku.
“Dengan berat hati, saya ingin mengatakan hal penting sebagaimana saya adalah seorang dokter yang menangani Tuan Jihoon selama berada dirumah sakit ini. Bahwasanya saat ini anda mengalami kebutaan total akibat benturan keras yang didapatkan saat kecelakaan dua pekan yang lalu. Saya juga turut berbelasungkawa atas kepergian suami anda karena kejadian tersebut.
— untuk menimbang keadaan Tuan Jihoon selanjutnya setelah keberhasilan pasca operasi pada pigmen kornea mata. Saya juga telah meminta pihak keluarga untuk memberikan jeda waktu masa pemulihannya agar dapat menenangkan diri ke tempat impian yang sudah direncanakan oleh anda sebelumnya.
—Sekiranya saya dapat bantu, ada baiknya Tuan menyetujui saran saya ini dengan menandatangani surat rawat jalan yang sudah disediakan di depan anda.”
Hari ini, tepat satu minggu setelah menyetujui surat rawat jalan yang ditandatangani dengan cap ibu jari ku sendiri. Akhirnya aku berangkat dari bandara Soetta menuju bandara transit Hang Nadim dengan jarak tempuh satu jam empat puluh menit.
Menjalani rawat jalan yang dipantau langsung oleh sahabat suami ku yang juga kebetulan sekampung halaman dengannya. Ia juga bekerja di rumah sakit tempat dimana aku dirawat sebelumnya setelah kecelakaan dua minggu yang lalu.
Sebelum berangkat untuk transit lagi ke tempat tujuan penyembuhan, —aku diminta untuk beristirahat sebentar terlebih dahulu di rumah saudara mendiang suamiku yang ada di Batam. Tepatnya di pelabuhan yang entah dimana spesifiknya tidak tahu. karena saat ini aku didiagnosa mengalami kebutaan total.
Hanya warna hitam yang aku tahu saat ini sedang mendominasi pandanganku. Kondisi dan situasi di sekitar hanya dapat diklaim dari indera pendengar, peraba dan penciuman ku saja. Selebihnya akan ku serahkan kepada Kim Mingyu, kolega dekat mendiang suamiku.
Sesampainya di kediaman keluarga dari suamiku, —semua yang ada disana langsung menyambut ku dengan isak tangis yang dapat ku dengar dengan jelas. Entah karena kasihan dengan kondisiku saat ini atau kepergian dari salah satu anggota dari keluarga mereka yang mempertaruhkan nyawanya untuk tubuh ringkih tak berguna ini.
Ikut menangis? Tentu saja bukan inginku saat ini. Bahkan bisa dibilang aku sudah lupa caranya menangis semenjak dua minggu sebelum kecelakaan itu terjadi.
Bukan berarti juga aku tak merasakan duka yang sama dan ikut berkabung saat tahu suamiku meninggal. Tetapi aku sudah sangat terpuruk untuk merelakan kepergian suamiku yang pergi meninggalkan ku terlebih dahulu.
Setelah dikerumuni sanak saudara dari mendiang suamiku yang berada disini, aku langsung dibawa Mingyu untuk istirahat di kamar lama suamiku saat ia masih bujang.
Sembari menunggu jam keberangkatan lima jam lagi, —aku hanya bisa berbaring tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sedari menapakan kaki di rumah ini.
Memilih berbaring tanpa terlelap adalah keputusan yang baik untuk ku saat ini. Sambil mengingat wajah suamiku saat terakhir kali dirinya yang penuh bersimbah darah dan luka di bagian wajahnya. Apalagi sedari tadi semua orang terus-menerus memberikan tekanan dengan pertanyaan yang terjadi dua minggu yang lalu.
Untungnya Mingyu langsung sigap untuk menegur mereka agar tidak menggangguku dengan pertanyaan penuh penasaran mereka itu sampai aku benar-benar dinyatakan sembuh total.
“Hei! Jangan nanya hal begituan lagi ke Jihoon bisa ga sih?! Tolong pikirkan perasaannya juga dong! Kalian ga tau apa kalau itu bisa berdampak trauma padanya? Udah deh, mending pada ngumpul di ruang tengah sana! Jangan ganggu Jihoon hanya karena pengen memuaskan rasa penasaran kalian doang!!”
“Masa cuman nanya gitu doang ga boleh sih Gyu?! Ampun dah pelit banget!” ucap gadis tanggung yang menangkal teguran Mingyu.
“Pelit?! Oh gitu?! Norak banget nanya begituan!! Sana gih! Tanya sama tembok sana biar ga penasaran lagi!!” Kegaduhan yang dibuat Mingyu barusan itu tidak sama sekali menggangguku saat ini, —karena aku memang pembelaan seperti itu yang ku inginkan saat ini.
Tak punya banyak tenaga lagi hanya untuk menjawab pertanyaan mereka yang tidak paham akan perasaan seseorang tengah berkabung. Sudah tiga jam terhitung kami menunggu keberangkatan selanjutnya di rumah mendiang suamiku.
Sampai saat ini aku belum ada nafsu untuk makan sedikitpun, karena sudah terlalu nyaman berada di dalam selimut yang masihberaroma khas tubuhnya yang membekas disini.
Kembali dengan bantuan Mingyu, — ia menyuruh ibu mertuaku untuk menyuapiku pada jam makan siang. Sangat hangat perlakuan beliau padaku, hingga membuat ku tersadar bahwa aku telah merepotkan beliau dengan kondisiku yang memprihatinkan saat ini. tapi entah kenapa aku sangat senang diperlakukan seperti ini layaknya perlakuan ibuku mengurusku di kala aku masih kecil yang terus sakit-sakitan karena penyakit Leukimia.
Di sela aku sedang dibantu untuk meneguk segelas air, dielus puncak kepala ku oleh beliau yang saat ini tengah menyalurkan rasa prihatinnya kepada ku. Aku mendengar isak tangis beliau yang tak bisa dibendung hingga mencoba menyembunyikannya pada ku saat ini.
Getar suara beliau saat tanganku mencoba menggenggam tangan lembutnya hingga beliau akhirnya tak kuasa menahan tangis dan melepaskannya dipundakku.
“B-buu…..” lirih suara serak ku tak lepas memanggil beliau. Tak bisa melakukan apapun selain meraba tubuhnya untuk ku usap punggung letih beliau.
“Sayang~ ma-maafkan ibu ya nak~ ya ampun nak maafkan ibu!~ maafkan ibu tidak bisa menggantikan sosok ibu mu yang telah disusul ke surga oleh suamimu nak! maafkan ibu juga tak bisa berada disampingmu selama ini, padahal kamu sudah kesusahan dengan hilangnya penglihatan mu~”
Tumpah sudah air mata seorang ibu yang telah kehilangan anak semata wayangnya, menyalahkan diri sendiri karena tak berkunjung untuk menemui menantunya yang buta ini.
Bahkan ia mengatakan bahwa ia gagal menggantikan sosok ibu untukku —yang sudah lama ditinggal setahun sebelum suamiku melamarku. Hanya bisa menguatkan beliau dengan dekapan hangat dari tubuh kecil ini, dalam dekapan itu ku rapalkan doa semoga yang mendahului kami berdua bisa berbahagia dan tenang mendapatkan sisi terbaik dari tempat pulang kepada sang pencipta.
Satu jam setelah isak tangis ibu mertuaku pecah, Mingyu akhirnya memanggilku di kamar sambil memakaikan baju hangat serta topi untuk menutupi kepalaku, Dari pendengaranku di luar mungkin sedang turun hujan yang berlangsung sebentar.
Semoga hujannya mereda hingga kami bisa melanjutkan perjalanan kami berangkat ke bandara. Sebelum benar-benar pergi dan setelah berpamitan ibu dan ayah mertuaku mengecup dahi sambil menempelkan sesuatu di belakang daun telingaku.
Merasa ada sesuatu yang janggal saat tanganku yang hendak menggapai sesuatu yang tak —dapat kulihat barusan ditahan oleh ibu mertuaku dengan pelan. Katanya; “Ini jimat dari remahan beras yang dikunyah, jangan diambil! itu akan hilang dengan sendirinya saat kamu bertemu dengan dia, Jimat ini juga akan menjagamu dengan aman kelak saat sampai di Natuna.”
Tak mengerti apa yang dimaksud oleh beliau, aku hanya bisa mengangguk dan mentaati perintahnya. Jadi ku biarkanlah pemberian beliau berada disana. Aku pun akhirnya benar-benar pergi meninggalkan rumah masa kecil suamiku sambil melambaikan tangan entah betul ke arah mereka atau bukan, Yang penting niatku berpamitan tersampaikan.
. . .
Kembali menempuh jarak dengan kurun waktu satu jam empat puluh menit dari Hang Nadim ke bandara Raden Sadjad menuju Pulau Natuna. Kata Mingyu, Natuna adalah tempat penyembuhan terbaik yang direkomendasikan langsung sama —dokter yang menangani ku selama dirumah sakit setelah kecelakaan. Entah semenakjubkan apa tempat ini sampai Mingyu tidak bisa berkata-kata dengan mulutnya. Penasaran?
Jelas dan pasti. Bahkan aku sudah muak dengan warna hitam yang dominan ini. Seturunnya kami dari pesawat yang baru saja kami naiki barusan, Mingyu bergumam sambil menuntunku dengan perlahan menuruni tangga dari kabin pesawat menuju lapangan landing.
Sapuan angin serta rintik hujan mengenai wajahku siang itu yang ku tahu dari Mingyu.
“Ji! —Jihoon~ Wahhhh~ hahahaha keren banget ga tuh! turun dari pesawat langsung disambut hujan sama ujung pelangi besar banget di depan kita Ji hahahahaha. Andai aja kamu bisa lihat keindahan ini ji.”
“Iri.” Hanya satu kata itu yang kusebut kepada Mingyu dan langsung bersedekap sambil mengeratkan genggaman tanganku di lengan Mingyu. Karena satu kata spontan yang langsung mematahkan tawa Mingyu tersebut dalam sekejap, — aku sangat merasa bersalah sudah mengganggu kebahagiaan kecil orang lain dan menyalahkan kemalangan diri sendiri untuk mengaburkan kesenangan orang lain. diam kembali, —hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini daripada mengulang kesalahan yang lain lagi.
Sekeluarnya dari bandara, —Mingyu akhirnya membawaku keluar bandara untuk mencari taksi agar kita berdua bisa naiki menuju penginapan. Mengingat langit berwarna Jingga yang dihiasi pelangi dari pembiasan cahaya matahari sore itu yang aku ketahui sesuai dengan deskripsi Mingyu.
Tapi Mingyu bilang taksi disini sudah mulai berhenti bekerja di waktu sekarang ini. Jam sudah menunjukan pukul enam sore dimana para pekerja dianjurkan untuk menyempatkan diri hanya sekedar rehat, makan dan beribadah sejenak. Kegiatan itu akan beroperasi kembali di satu jam kemudian. Sebab hal itu sudah budaya dan kebiasan penduduk disini.
Terlepas dari hal barusan, —Mingyu memintaku untuk menunggu di tempat ku berpijak saat ini bersama dengan barang bawaan. Dan tak lupa juga Mingyu memintaku untuk memakai instisblind dan kacamata hitam sebagai identitas sementara, sembari menunggu Mingyu mencari tumpangan untuk kami terlebih dahulu. Kira-kira sudah 30 menit berlalu semenjak Mingyu pergi meninggalkan ku sendirian disini.
Sampai suara gemuruh dan rintik hujan kembali masuk ke telinga ku dengan jelas. Bau khas dari Petrichor yang menyengat membuat indra penciuman ku mulai terganggu. Dinginnya angin yang menyapu kulit seakan memberi tahu bahwa hari semakin gelap dan mulai larut.
Masih menunggu —suara Mingyu pun juga belum terdengar ditelingaku. Separuh celana bagian bawah yang kukenakan mulai basah karena percikan rintik air hujan yang jatuh ke tanah yang sepertinya beberapa senti dari tempatku berdiri.
Ku rasa hujan semakin lebat lewat hantaman rintik yang kian lama semakinberat, aku pun mencoba menggapai barang bawaan yang Mingyu titipkan di sampingku dengan niat untuk mencari tempat berteduh yang lebih nyaman. Mungkin karena lantai yang basah dan licin, tongkat Instisblind ku meleset dan langkahku mulai acak hingga hampir terhuyung.
Sepersekian detik aku mulai pasrah karena aku tahu setelah ini aku akan terjatuh ditempat dan terhempas ke lantai. Tapi aku merasa aneh, —karena suara riuh hujan tak terdengar ditelingaku, terpaan angin juga tak mengenai tubuhku dan juga badanku seakan melayang.
Tiba-tiba aku merasakan hangatnya tubuh seseorang yang familiar sedang menggendongku dalam rengkuhan pelukan hangat tubuhnya.
“Tu— tung-tunggu…” Ini.. Bukan manusia? Kenapa tubuhnya berbulu halus, bau matahari, dan rumput kering?
“S-siapaa?” tanyaku.
“Jihoon, kamu gapapa?” Suara ini, —Suara yang dulu sering Singgah di telingaku dan getaran degup jantung nan kencang yang kini ku rasakan, aku langsung mengenali siapa dia.
“Permisi, aku boleh nanya dulu ga?” tanyaku karena penasaran.
“Tentu boleh, tanyakan apa aja”
“kamu, —Soonyoung? Kwon Soonyoung? Suamiku?” Tanyaku kembali sambil meraba-raba bagian wajahnya untuk memastikan apakah ia memang Soonyoung, Suamiku yang sudah tiada sebulan yang lalu.
Saat tangan dinginku sibuk meraba, tak lama tanganku digenggam, diciumnya punggung tanganku, —kemudian ia menaruhnya di pipinya. Lalu ia menjawab; “Benar, Itu namaku. Ini aku Jihoon. Kwon Soonyoung, Suamimu.”
Membulat bibirku tak berhenti mulutku merapalkan kalimat puji syukur sembari memeluk tubuhnya sangat erat. Entah kenapa pula aku merasakan air mataku seakan terjun bebas keluar dari mata yang cacat ini di ceruk lehernya untuk sekedar melepaskan rasa rindu.
Hangat tubuhnya tersalurkan di tubuh yang ringkih ini guna menyalurkan kehangatan di tengah dinginnya suhu saat ini. Tuhan, jika ini hanya mimpi atau karunia lain yang mustahil untuk bertemu kembali dengan suamiku, walaupun caranya sedikit tak masuk akal aku sangat, sangat, sangat berterima kasih padamu sudah mempertemukanku kepada seseorang yang amat terkasih untuk kedua kalinya.
Walaupun mustahil untuk ku terima dan kini aku mulai merasakan surganya Natuna seperti apa setelah mendengar nyaringnya jentikan jari seseorang beberapa detik yang lalu.
. . .
Dirinya
//click!
Setelah mendengar jentikan jari seseorang barusan, diriku seketika mengantuk dan tertidur dalam pelukannya. Nyaring suara antah berantah yang masuk ke telinga membuatku semakin nyaman hingga mulai mengatur nafas beraturan dengan sendirinya.
Bau petrichor tadi mulai samar hingga yang ku cium hanya bau hidangan menggugah selera tepat didepanku dan tak lupa bau khas matahari dari seseorang yang mengaku bahwa ia adalah suamiku yang sepertinya sedang duduk tepat di sampingku saat ini.
//krukkk~~
“Hahaha hayoloh bunyi perut siapa barusan?”
“Ehh? I-ini dimana?! Ini dimana? Tadi aku masih di bandara! Sekarang aku dimana? Aku dimana!!” Panikku
“Jihoon kamu kenapa??” Tanyanya khawatir.
Suara gemuruh perutku dan juga suaranya barusan membuatku yang sebelumnya menutup mata kini membuatku membukakan mataku secara kejut.
Tertegun? Sudah pasti, kaget? Apalagi. Karena saat ini aku tak menyangka bahwa penglihatanku yang beberapa minggu kemarin dinyatakan buta total bisa melihat secara tiba-tiba dan semua yang ada di sekitarku saat ini dapat ditangkap dengan jelas oleh penglihatan ku.
“Ji, kamu… —gapapa kan?” tanyanya sambil menggenggam tanganku.
Netraku langsung mengarah ke sumber suara dan aku pun kembali terkejut hingga tak sadar telah menepis tangannya.
“Eh?! Soon— nggak! Ini gak beneran kan?” Tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan diri bahwa ini semua hanyalah fiktif belaka.
“Jihoon, lihat aku!” ucapnya kembali sambil menangkup wajahku dengan cemas untuk ia bawa mendekat kearah wajahnya.
Semakin dalam ia membawaku mendekat padanya hingga kini nafas kami saling mengenai kulit masing-masing. Aku pun mau tak mau menutup mataku kembali dengan erat dan meyakinkan diri bahwa ini semua tak nyata.
Aku bersumpah bahwa aku mengatakan hal tersebut karena aku benar-benar rindu pada suamiku, Tapi juga bukan begini maksud ku.
Tak lama aku merasakan kecupan di dahi ku yang cukup lama. Setelah itu aku juga merasakan pertemuan kedua belah bibir kami yang hangat satu sama lain. Hanya sekedar bertemu, tak bermain lidah disana.
Aku tahu ia melakukan ini untuk meyakinkan bahwa ini semuanya nyata. Namun aku masih percaya bahwa semua yang kembali kepada tuhan tak bisa dikembalikan lagi.
“Jihoon Sayang~ lihat ke sini! Lihat aku!
Tatap mataku!” Pintanya.
“Nggak! Nggak mau! Ini semuanya ga nyata kan? Iya kan? Aku buta! Dan aku ga bisa lihat apa yang ada di sekelilingku!”
“Jihoon! Tenang! Yang kamu katakan itu benar, tapi buktinya kamu bisa melihat lagi sekarang kan?” Ucapnya sambil menunjukan cincin pernikahan kami.
Sontak terkejut, —aku pun menjejerkan cincinnya di samping cincin milik ku untuk membandingkan kesamaannya. Dan benar saja cincin itu benar cincin pernikahan kami.
“Tapi aku buta Soonyoung! Aku buta!! Setelah kecelakaan yang kita alami aku buta total dan kamu itu sebenarnya udah meninggal! Kenapa sekarang kamu ada disini? Kenapa? Dan cincin ini?! Kenapa bisa?? Kenapa bisa persis mirip milik Soonyoung? Kenapaa? Hiks~” Panjang pertanyaan yang ku lontar membuatnya membisu sejenak.
Membiarkanku ruang untuk menumpahkan seluruh rasa sakitku dengan cara, —tanpa menjawab pertanyaanku, Setelahnya, —ia malah memeluk tubuhku dengan erat. Ia membiarkanku menumpahkan rasa sakit yang sesak di hati dalam pelukan ini.
Ia juga membiarkanku menangis sejadi-jadinya agar aku bisa menyalahkannya dengan puas atas kecelakaan yang terjadi pada kami berdua satu bulan yang lalu.
Ia tak berkutik dan hanya terus menghujaniku dengan kecupan sayang hingga elusan tangannya yang lembut di punggung perlahan membuatku tenang.
Merasa baikan aku kembali mencoba membuka mataku namun memang jelas , —buktinya sekarang indera penglihatan ku benar-benar kembali normal.
Aku bisa melihat dengan detail di sekelilingku. Aku juga bisa melihat dengan jelas seseorang mirip suamiku, kini sedang tersenyum hangat sambil menghapus air mataku dengan pemandangan langit senja yang indah di belakangnya.
Angin yang bertiup merayu dedaunan pohon kelapa untuk menari sore ini ditemani dengan kicauan burung camar yang hendak pulang menuju sarangnya juga bisa kulihat dengan jelas. Belaian lembut angin sore yang masuk lewat jendela mengenai anak rambutnya.
Sentuhan kulitku pada kulitnya menandakan kami sangat-sangat dekat jaraknya saat ini hingga aku bisa melihat anak rambutnya menari karena sapuan angin yang sama dengan daun kelapa yang kulihat tadi. Senyumnya masih tak memudar sedikit pun, ia bahkan dengan senang hati memberikan ku wsktu untuk menerima kenyataan yang terjadi saat ini. Karena sifatnya ini membuat bendungan air mata di pelupuk ingin jatuh kembali. Tak kuasa menahan rasa rindu yang penuh di dalam hati, aku pun mencoba menerima keadaan dengan perlahan sambil memainkan anak —rambutnya, bahwa pria yang saat ini di hadapanku ini sangat mirip dengan mendiang suamiku benar nyata adanya.