byeolcyro

Alternatif Universe SoonHoon Archives


content and trigger warning! • Prio: if you minor please don't cross the line • 21+ adult content [Hardcore, rough sex with concent, Kissing, hecky, suck, spank, fingering, oral, cow sub ride] • please be wise!


Content Warning! 21+ [hardcore with concent sex]

Trigger Warning!

Prio (if you minor please don't cross the line)


Content Warning! 21+ [hardcore with concent sex]

Trigger Warning!

Prio (if you minor please don't cross the line)


Content Warning! 21+ [hardcore with concent sex]

Trigger Warning! ###Prio (if you minor please don't cross the line)


Di kala mentari naik di pagi hari itu, Jinan menaiki kasur ukuran king size miliknya untuk berbaring bersama suaminya yang saat ini sedang terlelap. hanya menyisakan mereka berdua di sana, karena setelah bertukar kabar dengan adiknya melalui aplikasi ber-icon burung biru —Dimana Figo pagi ini meminta izin kepada sang kakak untuk membawa Jauzan ke kediaman ayah dan ibunya.

Merasa leluarsa namun sekaligus sunyi melanda saat kehadiran buah hati tak ada disisinya, sayang sekali pagi ini hatinya berkata bahwa kini lah saatnya ia harus memanjakan suaminya yang sudah bekerja keras selama beberapa bulan terakhir untuk kelangsungan hidup mereka.

Menelusup diantara kedua sisi lengan yang lebih tua agar langsung di dekap nantinya, memainkan suri hitam di dahi sang suami yang mencuat lucu, mengusap pelan pipi gembil Aksar dengan gemas saat pria itu masih terhanyut dalam bunga tidurnya. Jinan pun mencuri ciuman di bibir plum Aksar saat ini, yang mana Aksar lah yang selalu melakukan aktivitas rutin tersebut disetiap paginya saat bangun tidur, Perlakuan Jinan itu pun membuat si empunya terbangun dari tidurnya. Senyum teduh Aksar pun seketika terpahat saat melihat di depannya sudah ada Jinan yang lebih dulu memberinya senyuman sehangat mantari pagi itu.

“Morning abi”

“Moring sayang, eungg…” Jawab Aksar yang tiba-tiba memeluk Jinan kuat dengan erangan lucu di belakang kalimatnya. Kemudian menarik pinggangnya yang ramping agar tak ada jarak diantara keduanya, menelusupkan wajah Jinan pada tubuhnya yang bertelanjang dada saat ini dan tak lupa bibirnya yang enggan melepaskan kecupan di dahi suaminya sampai Jinan protes meminta ia untuk longgarkan sedikit dekapan ini.

“Abi! Jangan kenceng-kenceng peluknya!”

“Dingin mi~” Jawabnya lirih dengan suara seraknya.

“Pake baju makanya!”

“Aduh!”

Aksar mengaduh setelah mendapatkan tepukan keras di bahunya, merekapun akhirnya bangkit bersama dari tempat tidur tersebut. Jinan langsung berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil baju Aksar, sedangkan kepala rumah tangga keluarga ini masih duduk di pinggir kasur sambil menetralkan penglihatannya. Merasa ada sesuatu yang hilang, Aksar pun bertanya kepada Jinan kemana pergi anak semata wayangnya itu dengan suara yang serak.

“Ami, ajan mana?” Tanyanya sambil menggaruk punggungnya yang gatal.

“Di bawa Figo, katanya ibu sama ayah ngadain tahlilan biar rame ajan di bawa kesana. Sekalian dia ketemu sama sanak saudaranya juga” Tanggap Jinan sekaligus mengerahkan lipatan baju kepada Aksar untuk ia kenakan.

Aksar hanya mengangguk paham setalah ia selesai memakai bajunya, berlalu ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Sedangkan Jinan menyiapkan sarapan yang sedari tadi sebelum Figo menjemput Jauzan ia sudah bergelut disana. Sarapan sudah siap, saatnya untuk menyantapnya selagi hangat.

Aksar yang kali ini tampak segar langsung berjalan melalui kamar yang seharusnya ia singgahi setelah agenda mencuci muka, namun masakan Jinan jauh lebih menggoda dari pada merawat wajahnya. Tersedia di meja beberapa makanan yang cocok untuk sarapan pada umumnya orang Indonesia — nasi goreng, susu, kopi dan roti bakar dengan selai blueberry.

Mereka berdua menyantap sarapan pagi mereka dengan nikmat satu sama lain, di selingi dengan obrolan santai seputar kegiatan yang mereka lakukan saat mereka berpisah karena Aksar yang harus bekerja. Dan Jinan yang kali ini berhasil mendorong Aksar ke lubang hitam yang ia buat semalam.

“Bi, udah di benerin belum wifinya?”

“Udah tapi ga tau bisa apa ngga, coba ami connecting” ucap Aksar pada Jinan dengan santai sambil mengelap sisa makanan di mulutnya.

Jinan tak ambil pusing ia pun mencoba menyambungkan Jaringan handphonenta dan wifi yang baru Aksar pasangkan. Dan terlintas di benak Jinan akan suatu hal yang terjadi subuh tadi pada Aksar.

“Jadi pagi tadi itu kamu belum tidur sama sekali? Kamu abis pulang langsung benerin wifi sendiri? Seriusan kak?” Tanya Jinan penuh kecemasan dan harapan entah apa itu.

“I-iyaa” Gagapnya membuat Jinan terpinkal-pingkal tertawa sesekali mencubit pipi gembil Aksar yang masih mengunyah sepotong roti.

“Makasih ya abinya jauzan yang serba bisa”

“Sama-sama aminya jauzan yang cakep”

Keduanya kembali terkekeh menertawai satu sama lain karena perlakuan tadi membuat mereka berdua bergidik merinding. Jinan tanpa basa-basi membuka galeri foto di handphonenya kemudian di arahkan kepada Aksar agar meminta kejelasan terhadap foto yang ia tunjukan tadi malam. Aksar hanya bisa mendengus menahan tawanya sambil mengusap kedua pipi Jinan yang memerah. Mau tak mau ia harus memberitahu Jinan agar rasa penasaran suaminya itu hilang.

“Oke, aku mau jujur sama ami”

“Hmmm, harus!” Tanggap Jinan sambil mengangguk.

“Hahaha, itu foto abi waktu di taroh jadi avsec mi. Jadi pagi itu pesawat ada yang bautnya hilang di bagian ban bantunya. Jadi mau ga mau harus banyak yang nolongin cari plus bantuin pasang rodanya juga, soalnya rodanya udah copot duluan jadi bautnya yang ilang ga cuman satu. Waktu itu posisi abi lagi libur karena bukan shift abi buat masuk, karena di suruh cepet kesananya abi jadi pake baju biasa doang, mana belum mandi lagi hahahaha”

“Serius? Ih abi jorok banget”

“Serius, kan di suruh cepet kesananya sayang”

“Terus-terus?” Pinta Jinan agar suaminya itu melanjutkan cerita seru tentang dirinya kembali sambil bertukar posisi duduk yang awalnya di seberang kini sudah di samping Aksar.

“Terus ya gitu deh”

Jatuh sudah ekspetasi Jinan, bukan cerita ini yang ia harapkan. Ia pun kesal sambil membersihkan peralatan makan mereka tadi dan membawanya ke wastafel dengan hentakan kaki yang kuat. Aksar bisa lihat sendiri tingkah gemas suaminya itu membuat ia ingin membawanya kembali masuk ke kamar mereka. Sayangnya ia masih ingin menjahili Jinan yang sedang pura-pura acuh padanya itu.

“Sayang” Panggil Aksara namun tak ada sahutan dari seberang.

“Panggil dek jawab ga?”

“Ngga”

“Tuh jawab hahaha”

“Abi tuh ih! serius”

Yang benar saja tak butuh waktu lama Jinan sudah kembali duduk di samping Aksar memintanya kembali untuk bercerira tentang masa lawasnya.

“Lanjutin dong bi, katanya mau jujur. Kan ami udah terlanjur sok uzone sama abi”

“hahaha kok bisa? Sok uzone kenapa coba?”

“Ami kira abi gayanya casual gitu ke bandara mau caper ke pramugari cantik disana. Taunya belum mandi disuruh ke bandara buat betulin ban pesawat. Kan lucu banget TMInya” Rengek Jinan karena cerita Aksar benar-benar melewati ekspetasinya. Tentu saja Aksar hanya bisa terkekeh gemas karena tingkah suaminya itu.

“Kan udah abi bilang semalam cinta pertama abi tuh cuman ami doang, ga percaya sih”

“Lagian siapa yang percaya kalau Kapten Pilot Al-Aksara Afsan yang ganteng nan rupawan tidak pernah merasakan kasmaran waktu muda? Kan aneh bi ih!”

Aksar kembali dengan suara tawa renyahnya, mencubit lucu hidung Jinan hingga si empu merengek tak sengaja menepis tangan Aksar yang ingin menyentuhnya. Aksar pun menarik suami mungilnya itu untuk di hujani kecupan sayang pagi ini. Jinan makin meronta minta di lepaskan dan ingin ia segera berbicara. Namun Aksar malah membawan Jinan duduk di pangkuannya, Aneh tapi benar nyatanya mereka sudah berubah tak seperti dulu lagi. Layaknya keluarga harmonis pada umumnya, Aksar dan Jinan hidup bahagia tanpa adanya masalah yang melanda seperti dahulu sebelum datangnya Jauzan, Jinan kecil mereka.

“Jadi beneran ami doang cinta pertama abi?”

“Beneran dong sayang, cinta pertama tuh cuman buat satu orang doang mi”

“Terus kenapa itu di fotonya ganteng banget kaya tebar pesona? Sengaja?”

“Astaghfirullah itu bang rangga yang suruh pose begitu”

“Kenapa mau?”

“Katanya sekalian buat jadi foto profil facebook siapa tau ada yang naksir hahahaha”

“ABIIII NAKAL IH!”

“Jinan heh mau kemana?”

“Ke tempat ajan aja! Ga jadi quality time sama kamu! Ngeselin”

“Sendalnya kebalik mi!”

“Biarin!”


Jihoon menatap lekat-lekat pemandangan kota seoul dengan matanya yang sembab. Mencari angin adalah alasan klasik yang ia pakai untuk situasi saat ini, scene mengerikan dimana ia trauma bercampur kekalutan di malam yang gelap bersamaan hujan deras malam itu kembali terputar di ingatannya. Rasa khawatir, rasa sedih, trauma dan senang bercampur secara bersamaan.

Perasan gundah gulana yang membalut sukar saat ini membuat kakinya tak kuasa berdiri tegak seperti biasanya. Serangan sesak yang mencengkam di dadanya membuat Wonwoo dengan sigap menangkap tubuh Jihoon yang hampir terjatuh ke belakang. Penuh rasa khawatir Wonwoo mencoba menolong Jihoon menenangkan diri karena trigernya mengingat masa lalu.

“Tarik nafas, tahan, hembuskan. Pelan-pelan jangan kecepetan nanti makin sesek.”

Jihoon melakukan sesuai arahan Wonwoo. Sekitar 2 menit ia melakukan hal tersebut, rasa membaik mulai datang dan membuatnya merasa baikan. Wonwoo yang aslinya panik hanya bisa mencoba berpura-pura tenang di hadapan Jihoon yang sedang tidak baik-baik saja. Ia mendudukan Jihoon di rerumputan hijau rooftop apartemen yang luas ini dengan ia di depannya. mengusap punggung tangan Jihoon guna memberi rasa aman di sekitarnya.

“Mau minum?” Tawar Wonwoo.

Jihoon hanya menggelengkan kepalanya.

“Maunya apa?”

“Ketemu pak soonyoung”

Wonwoo hanya mendengus dan menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Om gue baik-baik aja sekarang, dia juga udah di tahap akhir recovery”

“Tapi itu kejadiannya 1 tahun yang lalu masa masih di tahap akhir recovery bukannya udah sembuh total?” Tanya Jihoon dengan suara yang lantang.

“Hei! Hei! Sabar, gue belum jelasin. Iya bener udah 1 tahun yang lalu. Gue juga tau kronologi kejadiannya gimana, tapi gue ga tau si pemberani yang dicari sama orang-orang dulu itu lo Jihoon. Lo malaikat, lo sampai di beritain biar bisa di kasih hadiah sama kakek gue tapi kenapa lo ga cerita ke gue orangnya lo? Kalau lo datang dan ngaku mungkin lo sekarang ga kuliah sambil part time lagi Jihoon”

“Tapi nu lo tau kan posisi gue saat itu pasti lagi kenapa”

“Paham banget, gue paham banget trauma lo. Gue jadi lo juga bakalan takut apalagi buat keluar”

“Tuh tau! Dan asal lo tau lagi, semenjak itu gue 1 bulan gue ga bisa jalan bener, 3 bulan juga gue takut jalan raya, ichan juga bolos sekolah 3 bulan itu cuman buat ngurusin gue. Malam itu juga senyum gue yang paling tulus gue keluarin buat yakinin om lo biar mau gue tolongin karena dia mau bunuh diri dengan cara begitu.”

“JIHOON! GUE MARAH YA! KENAPA LO GA CERITA KE GUE? KENAPA LO NGILANG JUGA WAKTU ITU PADAHAL GUE MASIH BISA NOLONGIN LO JIHOON?!”

Wonwoo murka setelah mendengar penjelasan lebar dari Sahabatnya itu. Ia meninggikan intonasi suaranya dan memegangi kedua pundak Jihoon kuat. Jihoon yang terperanjat menepis tangan Wonwoo dan mulai melakukan pembelaan.

“LO MAU NOLONGIN GUE PAKE APA? SAAT ITU JUGA LO LAGI BERDUKA DAN OM LO JUGA BUTUH LO KARENA KATA LO DIA DI FITNAH TERUS DIBENCI SAMA KELUARGA LO, GUE BISA APA PAS TAU LO GA BISA DIHUBUNGI SEMENJAK HARI ITU WONWOO? SALAH GUE DIMANA?”

”.........”

”........”

“Hiks…”

“HUEEEEE JIHOON MAAFIN GUE UUUURRRGGGGG!!!! MAAFIN GUE GA DI SAMPING LO WAKTU ITU HUAAAAAAA”

“AAAAAAAAAAA WONWOO GUE JUGA MINTA MAAF KARENA GA NGASIH KABAR KE LO KALAU GUE SAKIT SEPARAH ITU HUEEEEEEE”

“JIHOON MAAFIN GUE GUE AJA YANG SALAHIN AA AAA AAAA”

“NGGA GUE YANG SALAH JUGA WONWOO HUUUHUUUUUUEEEEE”

“GUA AJA LO GA SALAH KOK IH HUEEEEEEE”

“GUE IH!”

“GUE BANGSAT AAAA AAAA AAAA”

“IYA LO SALAH LO! CENGENG BANGET ANJIR! UEEEEEEEEEE”

“INGUS LO ANJIR NEMPEL DI BAJU GUE! AAARRRGGGG AAAAA AAAA AAA”

“AAAAAA UHEEEEUUUUUEEEEE JIHOON”

“WONWOO AAARRRGGGHHH AAAA AAAA”

Kedua pria dada berumur 20 tahun itu naik turun berburu oksigen dengan menggebu-gebu selepas melepaskan semua amarah mereka. Perlahan deraian air mata mulai jatuh secara bersamaan di kedua pelupuk mata dia pria itu. Menangis sejadi-jadinya sambil berpelukan satu sama lain, melontarkan kalimat maaf yang tak ada ujungnya saat itu. Saling menyalahkan diri sendiri atas kejadian di hari itu membuat seseorang yang baru saja sampai di pintu rooftop kebingungan sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kedua mahasiswanya dan keponakannya itu.


Jihoon menatap lekat-lekat pemandangan kota seoul dengan matanya yang sembab. Mencari angin adalah alasan klasik yang ia pakai untuk situasi saat ini, scene mengerikan dimana ia trauma bercampur kekalutan di malam yang gelap bersamaan hujan deras malam itu kembali terputar di ingatannya. Rasa khawatir, rasa sedih, trauma dan senang bercampur secara bersamaan.

Perasan gundah gulana yang membalut sukar saat ini membuat kakinya tak kuasa berdiri tegak seperti biasanya. Serangan sesak yang mencengkam di dadanya membuat Wonwoo dengan sigap menangkap tubuh Jihoon yang hampir terjatuh ke belakang. Penuh rasa khawatir Wonwoo mencoba menolong Jihoon menenangkan diri karena trigernya mengingat masa lalu.

“Tarik nafas, tahan, hembuskan. Pelan-pelan jangan kecepetan nanti makin sesek.”

Jihoon melakukan sesuai arahan Wonwoo. Sekitar 2 menit ia melakukan hal tersebut, rasa membaik mulai datang dan membuatnya merasa baikan. Wonwoo yang aslinya panik hanya bisa mencoba berpura-pura tenang di hadapan Jihoon yang sedang tidak baik-baik saja. Ia mendudukan Jihoon di rerumputan hijau rooftop apartemen yang luas ini dengan ia di depannya. mengusap punggung tangan Jihoon guna memberi rasa aman di sekitarnya.

“Mau minum?” Tawar Wonwoo.

Jihoon hanya menggelengkan kepalanya.

“Maunya apa?”

“Ketemu pak soonyoung”

Wonwoo hanya mendengus dan menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Om gue baik-baik aja sekarang, dia juga udah di tahap akhir recovery”

“Tapi itu kejadiannya 1 tahun yang lalu masa masih di tahap akhir recovery bukannya udah sembuh total?” Tanya Jihoon dengan suara yang lantang.

“Hei! Hei! Sabar, gue belum jelasin. Iya bener udah 1 tahun yang lalu. Gue juga tau kronologi kejadiannya gimana, tapi gue ga tau si pemberani yang dicari sama orang-orang dulu itu lo Jihoon. Lo malaikat, lo sampai di beritain biar bisa di kasih hadiah sama kakek gue tapi kenapa lo ga cerita ke gue orangnya lo? Kalau lo datang dan ngaku mungkin lo sekarang ga kuliah sambil part time lagi Jihoon”

“Tapi nu lo tau kan posisi gue saat itu pasti lagi kenapa”

“Paham banget, gue paham banget trauma lo. Gue jadi lo juga bakalan takut apalagi buat keluar”

“Tuh tau! Dan asal lo tau lagi, semenjak itu gue 1 bulan gue ga bisa jalan bener, 3 bulan juga gue takut jalan raya, ichan juga bolos sekolah 3 bulan itu cuman buat ngurusin gue. Malam itu juga senyum gue yang paling tulus gue keluarin buat yakinin om lo biar mau gue tolongin karena dia mau bunuh diri dengan cara begitu.”

“JIHOON! GUE MARAH YA! KENAPA LO GA CERITA KE GUE? KENAPA LO NGILANG JUGA WAKTU ITU PADAHAL GUE MASIH BISA NOLONGIN LO JIHOON?!”

Wonwoo murka setelah mendengar penjelasan lebar dari Sahabatnya itu. Ia meninggikan intonasi suaranya dan memegangi kedua pundak Jihoon kuat. Jihoon yang terperanjat menepis tangan Wonwoo dan mulai melakukan pembelaan.

“LO MAU NOLONGIN GUE PAKE APA? SAAT ITU JUGA LO LAGI BERDUKA DAN OM LO JUGA BUTUH LO KARENA KATA LO DIA DI FITNAH TERUS DIBENCI SAMA KELUARGA LO, GUE BISA APA PAS TAU LO GA BISA DIHUBUNGI SEMENJAK HARI ITU WONWOO? SALAH GUE DIMANA?”

”.........”

”........”

“Hiks…”

“HUEEEEE JIHOON MAAFIN GUE UUUURRRGGGGG!!!! MAAFIN GUE GA DI SAMPING LO WAKTU ITU HUAAAAAAA”

“AAAAAAAAAAA WONWOO GUE JUGA MINTA MAAF KARENA GA NGASIH KABAR KE LO KALAU GUE SAKIT SEPARAH ITU HUEEEEEEE”

“JIHOON MAAFIN GUE GUE AJA YANG SALAHIN AA AAA AAAA”

“NGGA GUE YANG SALAH JUGA WONWOO HUUUHUUUUUUEEEEE”

“GUA AJA LO GA SALAH KOK IH HUEEEEEEE”

“GUE IH!”

“GUE BANGSAT AAAA AAAA AAAA”

“IYA LO SALAH LO! CENGENG BANGET ANJIR! UEEEEEEEEEE”

“INGUS LO ANJIR NEMPEL DI BAJU GUE! AAARRRGGGG AAAAA AAAA AAA”

“AAAAAA UHEEEEUUUUUEEEEE JIHOON”

“WONWOO AAARRRGGGHHH AAAA AAAA”

Kedua pria dada berumur 20 tahun itu naik turun berburu oksigen dengan menggebu-gebu selepas melepaskan semua amarah mereka. Perlahan deraian air mata mulai jatuh secara bersamaan di kedua pelupuk mata dia pria itu. Menangis sejadi-jadinya sambil berpelukan satu sama lain, melontarkan kalimat maaf yang tak ada ujungnya saat itu. Saling menyalahkan diri sendiri atas kejadian di hari itu membuat seseorang yang baru saja sampai di pintu rooftop kebingungan sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kedua mahasiswanya dan keponakannya itu.


Suasana canggung menyelimuti kendaraan roda empat mewah milik Soonyoung yang saat ini menjadi supir mereka berdua, ya— dua sahabat karip yang tadi menangis tanpa rasa malu sedikit pun di kursi penumpang belakang sana.

Soonyoung hanya terkekeh dalam diam sambil mencoba mengintip keadaan canggung di belakang dari kaca di depannya.

“Lucu banget, dasar anak kecil”

“APAAA?!” Serentak kedua di belakang sana mengeluarkan suara setelah sayup suara Soonyoung masuk ke indra pendengaran mereka.

“Eh?! Ga kok ga ada. Itu aku gumam ngomong sendiri doang”

Soonyoung tertegun berat dan memalingkan perhatiannya menjadi fokus pada jalanan kembali. Keduanya kembali menatap keluar jendela mobil di sudut sisi mereka masing-masing dan kembali berhasil mengundang gelak tawa dalam diam Soonyoung.

Karena merasa ia harus menjadi penengah diantara dua anak muda di belakang sana, ia pun memutar haluan yang awalnya menuju universitas menjadi menuju ke arah tempat dimana surganya street food.

“Ayo jajan di Itaewon, hari ini kalian berdua izin ga masuk aja. Absen biar aku yang urus”

“ASIK GA MASUK KELAS!!!!”

“ITAEWON WOI ITAWEON!! AAKHH!”

Pertimbangan Soonyoung salah, ternyata dua sahabat karip dibelakang sana tak butuh waktu lama untuk berbaikan. Anggap saja ini sebagai bentuk perayaan dimana Wonwoo sudah mengizinkannya mendekati Jihoon pelan-pelan.

“kali ini saja, semoga lancar”

Jihoon menatap lekat-lekat pemandangan kota seoul dengan matanya yang sembab. Mencari angin adalah alasan klasik yang ia pakai untuk situasi saat ini, scene mengerikan dimana ia trauma bercampur kekalutan di malam yang gelap bersamaan hujan deras malam itu kembali terputar di ingatannya. Rasa khawatir, rasa sedih, trauma dan senang bercampur secara bersamaan.

Perasan gundah gulana yang membalut sukar saat ini membuat kakinya tak kuasa berdiri tegak seperti biasanya. Serangan sesak yang mencengkam di dadanya membuat Wonwoo dengan sigap menangkap tubuh Jihoon yang hampir terjatuh ke belakang. Penuh rasa khawatir Wonwoo mencoba menolong Jihoon menenangkan diri karena trigernya mengingat masa lalu.

“Tarik nafas, tahan, hembuskan. Pelan-pelan jangan kecepetan nanti makin sesek.”

Jihoon melakukan sesuai arahan Wonwoo. Sekitar 2 menit ia melakukan hal tersebut, rasa membaik mulai datang dan membuatnya merasa baikan. Wonwoo yang aslinya panik hanya bisa mencoba berpura-pura tenang di hadapan Jihoon yang sedang tidak baik-baik saja. Ia mendudukan Jihoon di rerumputan hijau rooftop apartemen yang luas ini dengan ia di depannya. mengusap punggung tangan Jihoon guna memberi rasa aman di sekitarnya.

“Mau minum?” Tawar Wonwoo.

Jihoon hanya menggelengkan kepalanya.

“Maunya apa?”

“Ketemu pak soonyoung”

Wonwoo hanya mendengus dan menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Om gue baik-baik aja sekarang, dia juga udah di tahap akhir recovery”

“Tapi itu kejadiannya 1 tahun yang lalu masa masih di tahap akhir recovery bukannya udah sembuh total?” Tanya Jihoon dengan suara yang lantang.

“Hei! Hei! Sabar, gue belum jelasin. Iya bener udah 1 tahun yang lalu. Gue juga tau kronologi kejadiannya gimana, tapi gue ga tau si pemberani yang dicari sama orang-orang dulu itu lo Jihoon. Lo malaikat, lo sampai di beritain biar bisa di kasih hadiah sama kakek gue tapi kenapa lo ga cerita ke gue orangnya lo? Kalau lo datang dan ngaku mungkin lo sekarang ga kuliah sambil part time lagi Jihoon”

“Tapi nu lo tau kan posisi gue saat itu pasti lagi kenapa”

“Paham banget, gue paham banget trauma lo. Gue jadi lo juga bakalan takut apalagi buat keluar”

“Tuh tau! Dan asal lo tau lagi, semenjak itu gue 1 bulan gue ga bisa jalan bener, 3 bulan juga gue takut jalan raya, ichan juga bolos sekolah 3 bulan itu cuman buat ngurusin gue. Malam itu juga senyum gue yang paling tulus gue keluarin buat yakinin om lo biar mau gue tolongin karena dia mau bunuh diri dengan cara begitu.”

“JIHOON! GUE MARAH YA! KENAPA LO GA CERITA KE GUE? KENAPA LO NGILANG JUGA WAKTU ITU PADAHAL GUE MASIH BISA NOLONGIN LO JIHOON?!”

Wonwoo murka setelah mendengar penjelasan lebar dari Sahabatnya itu. Ia meninggikan intonasi suaranya dan memegangi kedua pundak Jihoon kuat. Jihoon yang terperanjat menepis tangan Wonwoo dan mulai melakukan pembelaan.

“LO MAU NOLONGIN GUE PAKE APA? SAAT ITU JUGA LO LAGI BERDUKA DAN OM LO JUGA BUTUH LO KARENA KATA LO DIA DI FITNAH TERUS DIBENCI SAMA KELUARGA LO, GUE BISA APA PAS TAU LO GA BISA DIHUBUNGI SEMENJAK HARI ITU WONWOO? SALAH GUE DIMANA?”

”.........”

”........”

“Hiks…”

“HUEEEEE JIHOON MAAFIN GUE UUUURRRGGGGG!!!! MAAFIN GUE GA DI SAMPING LO WAKTU ITU HUAAAAAAA”

“AAAAAAAAAAA WONWOO GUE JUGA MINTA MAAF KARENA GA NGASIH KABAR KE LO KALAU GUE SAKIT SEPARAH ITU HUEEEEEEE”

“JIHOON MAAFIN GUE GUE AJA YANG SALAHIN AA AAA AAAA”

“NGGA GUE YANG SALAH JUGA WONWOO HUUUHUUUUUUEEEEE”

“GUA AJA LO GA SALAH KOK IH HUEEEEEEE”

“GUE IH!”

“GUE BANGSAT AAAA AAAA AAAA”

“IYA LO SALAH LO! CENGENG BANGET ANJIR! UEEEEEEEEEE”

“INGUS LO ANJIR NEMPEL DI BAJU GUE! AAARRRGGGG AAAAA AAAA AAA”

“AAAAAA UHEEEEUUUUUEEEEE JIHOON”

“WONWOO AAARRRGGGHHH AAAA AAAA”

Kedua pria dada berumur 20 tahun itu naik turun berburu oksigen dengan menggebu-gebu selepas melepaskan semua amarah mereka. Perlahan deraian air mata mulai jatuh secara bersamaan di kedua pelupuk mata dia pria itu. Menangis sejadi-jadinya sambil berpelukan satu sama lain, melontarkan kalimat maaf yang tak ada ujungnya saat itu. Saling menyalahkan diri sendiri atas kejadian di hari itu membuat seseorang yang baru saja sampai di pintu rooftop kebingungan sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kedua mahasiswanya dan keponakannya itu.


Suasana canggung menyelimuti kendaraan roda empat mewah milik Soonyoung yang saat ini menjadi supir mereka berdua, ya— dua sahabat karip yang tadi menangis tanpa rasa malu sedikit pun di kursi penumpang belakang sana.

Soonyoung hanya terkekeh dalam diam sambil mencoba mengintip keadaan canggung di belakang dari kaca di depannya.

“Lucu banget, dasar anak kecil”

“APAAA?!” Serentak kedua di belakang sana mengeluarkan suara setelah sayup suara Soonyoung masuk ke indra pendengaran mereka.

“Eh?! Ga kok ga ada. Itu aku gumam ngomong sendiri doang”

Soonyoung tertegun berat dan memalingkan perhatiannya menjadi fokus pada jalanan kembali. Keduanya kembali menatap keluar jendela mobil di sudut sisi mereka masing-masing dan kembali berhasil mengundang gelak tawa dalam diam Soonyoung.

Karena merasa ia harus menjadi penengah diantara dua anak muda di belakang sana, ia pun memutar haluan yang awalnya menuju universitas menjadi menuju ke arah tempat dimana surganya street food.

“Ayo jajan di Itaewon, hari ini kalian berdua izin ga masuk aja. Absen biar aku yang urus”

“ASIK GA MASUK KELAS!!!!”

“ITAEWON WOI ITAWEON!! AAKHH!”

Pertimbangan Soonyoung salah, ternyata dua sahabat karip dibelakang sana tak butuh waktu lama untuk berbaikan. Anggap saja ini sebagai bentuk perayaan dimana Wonwoo sudah mengizinkannya mendekati Jihoon pelan-pelan.

“kali ini saja, semoga lancar”

Introgression


Wonwoo melipat kedua tangan sambil duduk tegap di depan dosen dan mahasiswa yang terciduk tidur di satu tempat yang sama. Soonyoung dengan muka melas memutarkan kedua matanya saat melihat keponakan di depannya ini berlagak ingin menggali info tentang kejadian yang ia alami beberapa jam yang lalu. Jihoon yang risih karena di bawa ke tempat yang ia tak ketahui, dimana tiap dinding ruangan ini dipenuhi dengan botol minuman alkohol yang beragam macam jenisnya.

“Nu! Gue mau—”

“Stop jangan bicara dulu, gue belum mulai”

“Tapi—”

“Shhtttt! Diem dulu!”

“GUE KEBELET PIPIS ANJIR! DAH LAH GA TAHAN INI! TOILET DIMANA WOI!” Tanya Jihoon dengan suara lantang dan tak tertahankan.

“Oh~ kamu lurus aja nanti belok kiri samping pantry ada lorong lurus lagi sampai kok” Jelas Soonyoung sang pemilik rumah kepada Jihoon, si tamu.

Ya benar ini penthouse Soonyoung.

“Makasih pak” Ucap Jihoon sambil tersenyum malu sebelum ia terbirit mencari toilet.

Wonwoo hanya bisa menggantung dagunya saat melihat interaksi dua pria di depannya ini. Sangat asing dan penuh tanda tanya, tekadnya pun menjadi kuat untuk memulai introgasi antara keduanya. Sembari menunggu Jihoon selesai, Wonwoo pun langsung melontarkan pertanyaan impulsif kepada adik dari ibunya itu.

“Om!”

“Ya ampun kaget! Ini bisa disingkirkan dulu ga sih? Kamu mau bunuh om apa gimana?” Marah Soonyoung menjauhkan ujung mata katana yang tajam dari pandangannya.

“Iya! Soalnya om tuh keras kepala! Kan udah aku bilang jangan ganggu Jihoon! Dia masih kecil kenapa om toxic banget sih?”

“Kapan om ganggu dia?”

“Everytime, semenjak om tahu Jihoon jadi karyawan baru di toko papa aku!”

Soonyoung hanya bisa mengusap wajahnya kasar sambil menghembus nafas berat, tak bisa berkutik karena yang Wonwoo katakan itu benar adanya.

“Jujur om udah tertarik ganggu Jihoon dari detik itu kan? Ayo jawab jangan bohong!”

“Iya ini mau dijawab katanya minggir dulu serem banget kalau nanti om ngomong malah nusuk”

Wonwoo menyimpan katananya sungguhan kali ini, lalu menjadikannya sebagai penyangga tangannya.

“Jelasin!”

“Yang dikatain kamu benar. Om udah mulai tertarik sama Jihoon semenjak dia masuk pertama kali di toko fried chicken papa kamu. Om hanya tertarik aja soalnya dia manis banget kalau senyum pasti ke inget sama seseorang yang dulu pernah nolongin om waktu pelanggaran pas hujan gede waktu itu loh nu. Kamu ingat kan?”

“Serius om” Ucap Wonwoo langsung berdiri dari tempat duduknya tak percaya.

“Iya”

“Kalau itu beneran Jihoon om gimana? Masa mau nikahin dia gitu aja?”

“Ya ga lah, masa om nikahi mahasiswa om sekarang? Terlalu cepat ga sih? Hehe”

“Ih om genit banget! Itu namanya udah ada planning di awal!”

“Aduh! Aduh! Sakit nu sakit! Kamu ini tangannya kecil cubitannya bukan main”

“Ya om sih gatel banget mau deketin temen aku. Tapi ya om aku mau om jawab jujur selagi orangnya masih lama di belakang sana. Om sekarang ada rasa sama Jihoon ga sih? Kenapa tadi tidurnya sambil peluk-pelukan hah?”

“Aduh! Wonwoo! Jangan ditunjuk kenceng sakit nih dada om kamu tunjuk-tunjuk pake sarung katana kamu”

“Biarin biar jera! Ayo jawab”

“Okey om bakalan Jujur. Sekarang om ga tau perasaan om sama Jihoon sendiri saat ini gimana. Om cuman mengagumi dia aja karena senyumnya manis mirip yang nolongin om waktu kecelakaan waktu itu. Dia lucu dan menggemaskan pengen om sayangi terus, om juga mau jadi tameng dia semenjak kejadian kemarin ga lebih. Tapi om masih ga yakin sama perasaan om ke dia karena dia mahasiswa om Wonwoo, om ga bisa jawab yang jelas untuk sekarang ini”

“Intinya mah om lagi bimbang aja mau maju apa ngga, tapi beneran Jihoon jadi sugar babynya om?”

“Ga ya! om cuman nawarin iseng aja kemaren karena diusilin Seokmin dosen kamu tuh. Ya udah om coba aja cari tapi waktu itu Jihoon lagi chat om ya udah om coba sama dia tapi kayaknya dia ragu karena kaget om kasih tawaran begitu. Dia juga waktu itu lagi mau nyari kerja tambahan ya udah sekalian aja om tawarin.”

“Ih om tuh ya! Genit dasar playboy!”

“Aw! Aw! Aw! Sakit nu ya ampun anak siapa sih? Aw!”

“Tapi om beneran sayang sama Jihoon kan? Kalau aku kasih restu kalian berdua jadian mau ga?”

“Ga nolak”

“Tapi jangan jadiin dia pelampiasan, pelarian sama kasih kerjaan yang ngga-ngga kaya jadiin dia sugar baby juga dong! Aku ga mau dia hancur dan capek karena ulah om! Cukup sayangin dia jagain dia”

“Iya om janji, tapi kamu beneran kasih izin om buat maju?”

“Iya, soalnya ga ada orang lain yang aku kenal buat jagain Jihoon selain adiknya”

“Sini kamu om mau kasih hadiah hahahaha”

“OM LEPASIN IH WONWOO UDAH GEDE OM! JANGAN AHHH! AIR LIUR!!!”

Layaknya seorang paman yang sedang menyalurkan rasa sayang sekaligus gemas kepada keponakannya, Soonyoung menarik keponakan tersayangnya itu untuk duduk di pangkuannya dan menghujani anak kakaknya itu dengan kecupan sayang dan syukur.

Jantung Jihoon berdegup lebih kencang dari biasanya saat mendengar semua penjelasan Soonyoung kepada Wonwoo, ia sedari tadi menguping di balik tembok lorong sebelum memasuki aula bartender tempat Soonyoung dan Wonwoo berada. saat ini Jihoon hanya bisa terduduk sambil menyembunyikan dua rona pipi merah muda di balik kedua telapak tangannya. Rasanya seperti takdir, ternyata orang yang ia cari kabarnya selama ini adalah dosennya sendiri.


Dini hari yang sunyi kedua mata Jihoon masih terjaga dan sibuk dengan balutan kain kasa dan perban untuk mengobati lukanya pada bagian tulang rusuk yang lebam serta beberapa luka sobek yang cukup dalam disana. Dengan sekuat tenaga ia menahan sakit saat mencoba mengganti balutan kain tersebut dengan yang baru.

“Akhhhhh! Sshhhtt aw!”

Suara rintihan sakit Jihoon membuat seseorang sadar dari keterpurukannya. Soonyoung yang baru saja mendudukan tubuhnya langsung menetralkan pandangannya kemudian memindai sekeliling guna mencari sumber suara rintihan barusan. Dari arah dapur tepatnya di kamar mandi, ia pun beranjak dari sofa dimana ia terbaring tadi dan menuju ke arah kamar mandi yang terletak di dapur rumah besar ini.

Yang benar saja Soonyoung dapat melihat Jihoon sedang kesusahan memutarkan perban pada tubuhnya dari meja makan. Soonyoung berjalan menuju Jihoon dan segera merebut perban di tangan si yang lebih muda.

“Sini saya bantu”

“Bapak?” Jihoon terkejut melihat Dosennya sudah sadar dan membantunya dengan badannya yang setengah terekspos di bagian perut.

Membantu Jihoon dengan terampil, menyudahinya dengan rapi, membalikan badan Jihoon guna melihat luka di bagian wajahnya. Dapat ia lihat Jihoon baru saja membasuh wajahnya sehingga obat merah dan salep yang tadi siang ia pakaikan menghilang.

Mengikis jarak dengan memajukan tubuhnya hingga Jihoon bersandar pada wastafel kamar mandi karena Soonyoung ingin membuka pintu lemari kaca di depan mereka untuk mengambil beberapa obat luka disana yang ia lihat di belakang Jihoon semenjak tadi ia berdiri disana. Rona merah muda tadi siang kembali terlihat di pipi gembil Jihoon saat ini, degup jantungnya yang memompa cepat karena jarak yang teramat dekat hingga ia bisa saja dengan mudah memeluk pria yang lebih tua di dekatnya ini di dalam kamar mandi.

Ia sadar diri di depannya ini adalah dosennya, tidak mungkin ia melakukan hal tersebut. Jihoon juga pasti tau bahwa Soonyoung berinisiatif menolongnya mengobati luka dan saat ini juga ia tahu Soonyoung sepenuhnya sudah sadar. Maka dari itu ia menolong dengan suka rela.

Kini tangan Jihoon di tarik agar mereka segera menuju keluar dari ruang sempit itu setelah Soonyoung membawa beberapa cottonbud dan juga obat luka. Menbawa Jihoon di bawah pencahayaan remang meja makan. Ia menaruh barang bawaannya di meja kemudian membantu Jihoon untuk duduk perlahn mengingat eratnya balutan di bagian perut Jihoon agar tak terjadi sentakan waktu duduk secara tiba-tiba dan mebuatnya merasa kesakitan.

“Yuk duduk dulu pelan-pelan” Ucap Soonyoung sambil menggenggam kedua tangan Jihoon.

Jihoon pun mencoba duduk dengan perlahan dengan pandangannya yang tak putus dari wajah Soonyoung. Yang lebih tua tak sadar atas tingkah mahasiswanya yang sedari tadi menatapnya ia hanya fokus mengobati luka di wajah Jihoon. Perlahan tangan Jihoon terangkat untuk menggapai pelipis Soonyoung yang berdarah dan menunjuk lebam di bagian ujung bibirnya.

“Jihoon!” Sentak yang lebih tua merasakan sakit saat Jihoon memegang lukanya.

“Bapak juga luka tau!” Beri tahu Jihoon kepada Soonyoung.

Yang lebih tua hanya bisa meneguk salivanya dan memalingkan wajah. Ia menutup tutup obat luka tadi dan saat hendak beranjak dari duduknya tangannya di tahan oleh Jihoon. Kali ini Jihoon akan mengobati luka di wajah Soonyoung dengan terampil sama seperti yang Soonyoung lakukan barusan padanya.

Pria berprofesi Dosen itu hanya bisa berdiam diri saat disentuh oleh mahasiswanya. Mematung saat Jihoon memajukan wajahnya untuk melihat seberapa dalam luka di pelipisnya hingga darah mengalir disana. Jihoon yang penasaran setelah melihat luka yang bisa di bilang cukup dalam disana bertanya kepada Soonyoung sambil membersihkan sisa darah dengan obat alkohol.

“Bapak kenapa bisa luka juga? Bapak di bully?” Tanyanya sambil bercanda.

Keduanya sontak terkekeh mengeluarkan suara tawa mereka. Soonyoung tersenyum simpul setelah melihat Jihoon yang masih menertawainya terlihat manis di matanya. Ia pun tak sungkan untuk menjawab pertanyaan Jihoon kali ini, mengingat Jihoon sudah mengetahui privasinya secara tak langsung.

“Haha iya, saya di bully mantan istri saya”

Tanggapan Soonyoung barusan membuat Jihoon menghentikan tawanya dengan cepat. Ia pun memasang wajah khawatir dan kalut mengetahui jawabannya.

“Pak maafin saya, saya ga bermaksud buat ngeta-”

“Gapap Jihoon, itu guyonan yang lucu. Saya suka. Lagi pula itu benar adanya. Saya di bully sama istri saya karena saya berani-beraninya menemui anak saya. Sedangkan saya kalah kemarin dalam memperebutkan hak asuh anak saya.”

Jihoon menggigit kukunya resah sebelum ia menyelesaikan pengobatannya pada Soonyoung dengan sentuhan akhir memberikan plaster disana. Ia pun tak berkutik lagi, mengambil semangkuk air hangat dan handuk kecil untuk menghilangkan lemam di ujung bibir Soonyoung. Yang di obati masih menunggu tanggapan dari yang lebih muda. Ia menikmati wajah Jihoon dengan lamat hingga jantungnya berdegup kencang namun sesekali ia merasa tersayat saat tak sengaja melihat wajah si manisnya itu memiliki beberapa parut dan luka di wajahnya.

Jihoon diam-diam selesai mengobati Soonyoung lalu berniat meninggalkan Soonyoung dalam diam menuju ke kamarnya, namun sayang usahanya gagal. Kali ini tangannya lah yang di tahan, ia masih di suruh untuk menemani Soonyoung dini hari itu untuk menyelesaikan ceritanya.

“Kamu tahu tidak kenapa saya tahan kamu setiap saya mabuk di tempat kerja kamu kemarin-kemarin itu?”

Jihoon perlahan menggeleng karena tidak tahu jawaban yang sebenarnya alasan Soonyoung. Yang lebih tua mengacak rambut si lebih muda dengan gemas bersama senyumnya.

“Itu karena saya merasa kamu bisa menjadi pendengar yang baik. Tapi saya gagal tahan kamu waktu sebelum kamu mau mendengar cerita saya waktu sehari sebelum saya cerai. Waktu itu juga kamu menyelesaikan hari terburuk saya dengan manis Jihoon. Saya suka suasana malam itu sampai sekarang. Jadi mau ga kamu dengar cerita ahjusi ini sekali lagi?” Pinta Soonyoung di akhir kalimatnya kepada Jihoon.

Dengan ragu Jihoon mengangguk dan memberinya beberapa syarat kembali sama seperti terakhir kali ia lakukan.

“Boleh, tapi bentar aku beresin dulu ini obatnya sama tukar baju. Bapak juga bajunya kotor harus mandi juga bau alkoholnya masih kecium. Sekalian kita makan malam soalnya perut bapak bunyi terus pas di jalan tadi”

Soonyoung menggulum bibirnya malu dan memalingkan wajahnya untuk merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia menegak alkohol tanpa kudapan sedikitpun dan wajar saja perutnya meringis meminta diisi. Soonyoung menyetujui permintaan Jihoon dan segera mereka masing-masing melakukan kegiatan bebersih diri.

Berselang beberapa menit, Soonyoung belum juga selesai dari kegiatan berendamnya di dalam sana. Ia berantusias untuk menghilangkan bau alkohol yang menempel di badannya yang amat sangat menyengat bagi Jihoon. Pikirnya Jihoon mungkin terganggu dengan bau tersebut. Jihoon juga sekarang masih berkutat di dapur dengan berbagai peralatab masak. Ia membuat sup ayam sebagai sup pereda pengar untuk soonyoung yang sekaligus menyehatkan dan mengenyangkan untuk mereka berdua santap.

Jihoon pergi ke kamar adiknya guna meminjam baju atasan yang besar dan celana training untuk Dosennya kenakan malam ini. Karena pikirnya jika memakai baju miliknya yang ada malah kekecilan jika di pakai oleh Soonyoung yang berbadan kekar dan besar itu. Ia kemudian lanjut berjalan menuju kamar kosong yang tak jauh dari ruang makan dilantai satu, dimana dahulu itu adalah kamar ayah dan ibunya yang sudah lama tak terpakai. Pikirnya lagi kamar ini cukup untuk di singgah dan di pakai semalam untuk dosennya beristirahat.

Makanan sudah di hidangkan, kamar yang akan Soonyoung tempati juga bersih dan rapi hanya menunggu pria itu selesai bebersih dan mereka siap melanjutkan ceritanya. Merasa khawatir Jihoon mengetuk pintu kamar mandi yang tak jauh dari dapur itu.

Tok! Tok! Tok!

“Bapak ga tidur didalam sana kan pak?”

“Sebentar lagi Jihoon”

“Okey”

“kenapa lama amat didalam curiga gue malam-malam dia lama di kamar mandi ngapain?” tanya Jihoon pada dirinya sendiri sambil bergumam berlalu pergi dengan pikirannya yang negatif.

Tak lama Soonyoung pun kembali ke meja makan setelah 5 menit mengganti pakaiannya di kamar orang tua Jihoon. Jihoon yang sudah mengantuk menunggu Soonyoung dengan sup ayam yang hampir dingin itu membuat ia merasa bersalah. Soonyoung pun memanggil Jihoon dalam pelan agar Jihoon beristirahat terlebih dahulu.

“Ji, kamu tidur aja dulu. Biar saya makan sendiri aja malam ini”

Jihoon tersentak dari tidurnya yang sebentar itu lalu menyadarkan diri agar tetap terjaga.

“Gapapa pak saya juga lapar, ayo dimakan” Tawar Jihoon.

“Maafin saya lama banget mandinya, saya ga mau kamu kebauan sama bau alkohol di tubuh saya”

“Gapapa pak serius, mending makan yuk udah lapar. Saya buatin sup ayam buat pengr ada jahenya juga di dalam biar bapak enakan. Semoga bapak suka” Ucap Jihoon sambil menyendokan sup ayam buatannya kedalam mangkok untuk di berikan kepada Soonyoung.

“Terima kasih Jihoon, tentu saja saya suka”

Ia pun langsung mengambil mangkok tersebut dari tangan Jihoon dan menyuapinya untuk mencicipi terlebih dahulu. Rasanya begitu segar dan nikmat saat masuk ketenggorokannya. Walaupun sudah tak sehangat tadi saat Jihoon hidang namun hangat dari jahe membuat tubuhnya merasa baikan. Soonyoung suka masakan Jihoon, ia kemudian menyuapi sup itu bersamaan dengan sesendok nasi. Rasanya lebih gurih dari sebelumnya ia merasa ia akan lahap dini hari itu dan melupakan kegiatan work outnya sementara waktu.

“Uwah Jihoon ini sup ayam terenak yang pernah saya makan, istri saya jarang masak di rumah dan ya masakannya hambar saat masuk ke mulut saya. Tapi masakan kamu mengingatkan saya pada ibu saya di rumah. Persis sekali cita rasanya seperti masakan di rumah. Saya amat sangat suka sampai ga tau lagi mau apresiasinya bagaimana ke kamu. Makasih untuk makanan nikmatnya, tak bohong kalau kamu bilang kalau kamu bisa melakukan pekerjaan rumah”

Dua tulang pipi Jihoon mengembang saat di puji mati-matian oleh Soonyoung barusan. Rasanya ia ingin terbang ke langit ketujuh karena baru pertama kali ada orang yang teramat jujur saat memuji masakannya. Memang ini yang sedari dulu ia inginkan namun sayangnya chan sudah terbiasa dengan hal itu dan melupakan Jihoon yang sudah membuat makanan dan mengurus rumah demi dirinya.

Hangat terasa diwajahnya saat melihat Soonyoung melahap habis semua makanannya tak bersisa. Ia sampai lupa bahwa ia belum menyuapi sesuap nasi sedari tadi karena terlena melihat Dosennya menikmati hidangannya. Soonyoung yang sadar pun menegur Jihoon agar melanjutkan makannya dan Jihoon pun dengan malu menyantap kembali makanannya.

Setelah selesai mereka berdua sama-sama membersihkan peralatan makan, kini keduanya duduk ada sofa dimana Soonyoung tertidur tadi bersamaan dengan satu selimut yang menutupi kaki mereka dan secangkir kopi masing-masing di tangan mereka untuk menghangatkan tubuh teman cerita mereka pagi subuh itu.

“Jadi bapak mau cerita apa lagi sama saya?” Tanya Jihoon sambil menyeruput kopinya.

“Saya mau cerita kalau saya tadi di aniaya secara sengaja sama mantan istri saya pake tongkat bisbol”

“Serius pak” Terperanjat Jihoon langsung melihat kembali luka di wajah Soonyoung saat mendengar pengakuannya barusan.

“Iya serius! Nih lihat nih lengan saya lebam terus sama di pelipis saya yang tadi kan. Ini di mulut dia tinju sakit banget ji” Kadu yang tua pada yang lebih muda.

“Jahat banget tau mantan istri bapak tuh”

“Dari mana kamu tahu dia jahat?” Tanya Soonyoung spontan karena mahasiswanya tahu sifat mantan istrinya.

“Ya saya lihat dia ceraiin bapak karena harta gono gini, terus dia ambil semua hak asuh anak bapak, dia juga ga bolehin bapak ketemu anak bapak kan terus kdrt di tempat umum sampai bapak luka gini ga ada tanggung jawabnya bawa bapak kerumah sakit atau apa kek malah ditinggalin di troli mini market sampai saya bilang bapak orang gila -akh! Bapak!”

Soonyoung hampir saja menyembur Jihoon karena tak sanggup menahan tawa saat ia ucapkan kata “orang gila” untuk menyebut dirinya yang tengah tak sadarkan diri tadi. Mengusap pipi Jihoon yang terkena sedikit cipratan semburan air kopinya hingga ia terbahak tertawa melihat wajah masam Jihoon.

“Hahaha maaf Jihoon hahahaha saya ga bisa nahan ketawa. Kamu malah ngelucu waktu saya lagi minum kan kesembur sedikit. Maafin ya ini saya bantu bersihin hahahaha”

“Ih bapak ih jorok!”

“Maafin saya hahaha —terus! Terus! Gimana lagi menurut pendapat kamu tentang mantan istri saya itu? Udah Jihoon ga ada lagi hahahaha” Dengan cepat Soonyoung mengalihkan pembicaraan. Untunglah Jihoon masih menggubris sambil mencoba menghapus sisa kopi di wajahnya.

“Bapak tuh! Masih ada ih. Jadi menurut saya setidaknya ada 50:50 untuk hak asuh gitu. Jadi sama-sama ngebesarin anak barengan kan jadi bisa quality time sama si anak. Bapak tau ga anak tuh butuh kasih sayang yang lebih dan harus dapat perhatian dari kedua orang tuanya yang banyak. Kasian anak bapak masih kecil kurang perhatian bapaknya itu bakalan bikin dia down waktu dewasa. Saya pernah ngerasain itu loh pak.”

Sedikit pengakuan Jihoon membuat Soonyoung tersadarkan betapa mengharuskannya kemarin untuk merebut hak asuh zara. Dan benar semuanya demi masa depan zara, masa depan anak kandungnya. Ia juga berfikir bahwa sangat besar cintanya pada buah hatinya dari pada mantan istrinya, ibu dari anaknya itu. Tak sedikit waktu mereka menghabiskan waktu bersama, kini Soonyoung sadar betapa besar salahnya kepada anak kandungnya saat ini.

“Makasih Jihoon wejangannya, makasih juga udah kasih tau ke saya kalau kamu masih butuh perhatian kedua orang tua kamu. Makasih kalimat jujur kamu sudah mewakili anak saya dan membuat saya merasa harus intropeksi diri lagi dari sekarang. Saya merasa gagal jadi seorang ayah, karena berkat kamu saya jadi sadar atas kesalahan saya selama ini. Terima kasih sekali lagi Jihoon, terima kasih”

Mendengar ucapan terima kasih berkali-kali dari Soonyoung hingga ia dapat melihat air mata di ujung pelupuk mata soonyoung tak lagi visa berbendung. Jihoon berinisiatif menarik Soonyoung dalam pelukannya. Pelukan ini pelukan afeksi, obat penenang agar Soonyoung merasa lebih baik lagi.

Namun sayang yang lebih tua merasakan sesuatu yang aneh berdegup kencang di dadanya. Rasa sesak sekaligus menghangatkan tubuhnya yang sudah lama ia rindukan muncul kembali. Rasa sayang sekaligus suka ia rasakan saat tubuhnya berdekatan dengan tubuh kecil yang merengkuhnya ini. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu yang lebih kecil, membalas pelukan tubuh mungil mahasiswanya itu guna melepas rasa rindu yang telah lama ia tak rasakan lagi semenjak Jaeyong memutuskan untuk bercerai dengannya.

Ini rasa suka, cinta, sekaligus ingin menjaga si mungil ini agar tetap disampingnya. Rasa ingin memiliki yang lebih dan egois dalam dirinya berkecamuk saat menciun aroma khas dari tubuh Jihoon yang semerbak harumnya. Menambah rasa sukanya semakin meninggi pada mahasiswanya itu dan enggan untuk melepaskan pelukan ini.

Jihoon juga merasakan hal yang sama dengan soonyoung, namun aneh mengapa pundaknya begitu berat. Ternyata soonyoung tahu tempat ternyaman untuk tidur subuh itu.

“Gapapa pak, bapak pasti capek. Semoga aja bapak bisa merasakan menjadi seorang ayah dalam kurun waktu selama-lamanya” Beri semangat Jihoon kepada Soonyoung yang terpulas tidur sambil mengusap punggung yang lebih tua.


Jam menunjukan pukul setengah 4 pagi, Soonyoung dan Jihoon terjaga kembali karena yang lebih tua tertegun saat ia mengetahui sudah tak sengaja tidur di dalam pelukan mahasiswanya. mereka masih asik bercengkrama seperti menceritakan kisah satu sama lain. Gelak canda tawa saat cerita bodoh yang mereka sampaikan, senyum simpul dikala cerita menggemaskan dan lucu, merasa pilu saat menceritakan cerita kelam satu sama lain. Dan hingga mereka berdua akhirnya benar-benar tertidur di sofa yang sama sampai fajar menampakan dirinya pagi itu.