byeolcyro

Alternatif Universe SoonHoon Archives


“Selamat malam, tuan. Silahkan masuk” Ucap Jihoon mempersilakan tuan rumah untuk masuk di depan pintu.

Soonyoung yang terkejut atas sambutan dari Jihoon pun tanpa sengaja mengeluarkan feromon semerbak bunga mawarnya agar menguar memenuhi apartemen mereka.

“Hahaha selamat malam Jihoon. Apa kau menunggu ku lama?” Ia menyapa kembali Jihoon sambil mengusap surai hitam si omega kemudian berlalu pergi ke kamar untuk segera membersihkan tubuhnya.

Jihoon yang selama bertahun-tahun mencoba menguatkan imannya agar tidak melakukan masturbasi sebelum jadwal heat datang, melenggang ke dapur untuk segera meminun obat yang sudah di resep untuk dirinya.

Naik turun dadanya menetralkan nafas karena reaksi feromon Soonyoung yang terlalu berlebihan membuat dirinya hampir hilang kendali. Dirasa cukup tenang, Jihoon pun menghampiri si empu rumah kedalam kamar.

Keluar dari kamar mandi tanpa menggunakan atasan, menutupi bawahannya dengan selempar potongan handuk, menyibak rambutnya ke belakang tanpa bertujuan untuk menebar pesona karena Jihoon mematung di depannya dengan mulut yang terbuka.

“Maaf tuan, saya ga liat kok! Saya ga liat beneran”

Soonyoung terkekeh kecil menghampiri si mungil kemudian merengkuhnya dengan badan setengah telanjang dan tak lupa menguarkan feromon tak terkendalinya lagi kepada Jihoon.

Yang di peluk menampakan semu merah di kedua pipinya, bersentuhan langsung dengan kulit Soonyoung membuatnya terbuai ingin selalu berada di tempat ternyaman ini. Namun kejanggalan yang selalu membuat Jihoon tak berdaya adalah soal Feromon Soonyoung yang hilang kendali.

Entah Soonyoung sengaja atau memang belum bisa mengendalikannya, Jihoon jadi penasaran hendak bertanya kepada sang Alpha dominan yang baru saja menciun puncak kepalanya ini.

“Hmmm tuan” Panggil Jihoon. Kemudian pria yang dipanggil Tuan itu pun menjauhkan jarak mereka agar saling bertatap muka.

“Kenapa Jihoon? Kamu merasa tidak nyaman setelah apa yang baru saja saya lakukan?”

Jihoon dengan panik menggeleng kemudian menunduk meminta maaf atas kesalahpahaman yang di buat oleh tuan mudanya ini. Jihoon pun segera menangkal kalimat Soonyoung dengan pernyataannya yang sedari kemarin ia simpan.

“Bukan! Bukan tuan! Bukan itu. Saya hanya ingin menanyakan apakah tuan masih belum bisa mengendalikan feromon anda?”

“Apakah saya terlalu banyak menguarkannya?”

“haha saya pikir begitu tuan”

“Ah~ maafkan saya Jihoon, entah mengapa saya merasa senang dan nyaman jika berada di dekatmu hingga semuanya tak bisa di kontrol.” Soonyoung merasa bersalah kemudian mengecup tangan Jihoon sebagai tanda permintaannya.

“Ahahaha, jangan minta maaf tuan. Saya hanya penasaran”

“Tapi Jihoon, kenapa aku masih tak mencium bau feromon mu sedari awal kita bertemu? Apakah jadwal heat mu teratur?”

“Eung! Sangat teratur tuan. Namun saya memang menyembunyikannya sejak lama”

“Mengapa? Apa kau tidak tertarik untuk mencari mate mu?” Tanya Soonyoung khawatir.

Jihoon belum siap untuk mengungkapkan semua kebenarannya malah mengalihkan pembicaraan yang cukup memalukan.

“Ah tuan sebaiknya anda memakai pakaian anda.”

“Maaf Jihoon, izin kan aku memakai pakaian ku dulu”

Jihoon hanya bisa tersenyum lebar karena tingkah lucu tuan mudanya itu. Dengan menghilangnya punggung si tuan dari penglihatannya, senyum di wajahnya pula ikut luntur karena kegelisahan yang terus muncul karena merasa bersalah telah mengalihkan pembicaraan mereka barusan.

“Maaf tuan, gue belum bisa bilang alasannya sekarang”


Demi apapun dalam seumur hidup gue ga pernah ngerasain gugup yang segugup ini. Kaki gue gemeteran ga bisa diem, perut gue geli dan keram secara bersamaan hanya karena feromon Dominan Alpha di depan ini yang sedang tak terkontrol.

Please, some body help me! Dia terlalu berbahaya buat gue yang biasa aja. Gue ga mau mati karena bau feromon yang bisa buat gue mabuk yang ga sebanding sama mabuk alkohol.

Jantung gue mau meledak gue ga tau harus apa karena Kwon Soonyoung cuman natap mata gue tanpa ngomong sepatah kata sedikit pun. Ayo Jihoon lo bisa lo berani! Kalahin feromonnya sama feromon lo sendiri. Okey Kwon Soonyoung, kita buat satu gedung restoran ini aroma kita berdua.

“Ehmmmm...kwo-”

“Jihoon-ssi”

“Eh? Ya?”

“Ayo nikah”

“Apa?”

Nih orang gila apa gimana sih? Ada orang baru pertama ketemu malah ngajak nikah? Situ sehat?

“Gimana? Kita baru ketemu loh hehe”

“Aku sedang dalam ancaman keluargaku. Jika tahun ini aku tidak menikah, maka kakekku akan menikahkan ku dengan wanit pilihannya. Kau tahu maksud ku bukan?”

“Tapi kan—”

“Aku mau kamu.”

Wah~ nih orang bener-bener.

“Se- sebentar... Kenapa harus aku tuan? Aku cuman pacar sewaan dari Lo:ve entertainment, kita bukan biro pernikahan ingat itu.”

“Saya tahu dan saya sangat amat paham. Tapi saya menginginkan anda.”

bener kata Wonwoo, batu bener.

“Training.”

“Training?”

“Gimana kalau kita training aja? Kaya pacaran dulu biar kenal satu sama lain? Lebih mudah bukan?”

“Saya lebih suka kontrak, ku dengar kau memiliki banyak utang disana sini hingga tak punya tempat tinggal”

Terkutuklah kau Jeon Wonwoo.

“Hehehe i-iya cuman kan harus ada prosesnya tuan. Ga semuanya harus langsung.”

Apa tuh yang dia pengen keluarin disakunya? Duit? Gue disini ga mau jual diri. Eh tapi kan emang gue dari awal mutusin kesini udah jual diri sama Wonwoo! Ah sial!

“Baca, pahami, dan tanda tangan jika setuju”

“Hah? Sebentar.... —HIKSSS! 100 JUTA WON?”


Di sebuah halte transjakarta, suara tapakan kaki penuh ketakutan dan kekhawatiran masuk ke indra pendengaran Agri dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.

Semua orang memakai masker dengan tergesa, menyerbu seluruh apotek yang ada pada deretan halte. Karena termenung ia tak sengaja menabrak bahu seseorang.

“Ah, sorry ga senga-”

“Gi! Masker lo mana?” Tanya seseorang yang tak sengaja ia tabrak tadi.

“Lah? Bang? Kok lo ada disini? Ga kerja?”

“Ayo pulang, disini ga aman! Cepat”

“ABANG WOI SEPATU GUE COPOT!!!”

Mereka pun berlari guna menjauhi kerumunan disana dan meninggalkan salah sepatu Agri yang tak sengaja terlepas disana.

Keduanya sudah sampai di kamar seseorang yang menarik Agri di Halter transjakarta tadi. Ya, dia Attalla. Tetangga sekaligus teman masa kecil Agri yang berjarak 3 tahun lebih tua darinya.

Attalla sudah mengganti seragam kerjanya menjadi baju santai dengan tujuan untuk tetap menetap di dalam rumah karena sebuah ancaman tak terlihat berada di luar sana.

Yang lebih muda hanya bisa mengerucutkan bibirnya sambil membersihkan debu pada busur panah kesayangan yang selalu ia bawa. Attalla mendekat kemudian duduk di samping Agri dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Agri mulai muak dengan keheningan ini dan meletakan busurnya di samping Attalla, kemudian menarik kerah baju yang lebih tua agar terduduk.

“Bang jelasin lo kenapa bawa gue KE RUMAH LO?!” Teriak Agri kesal hingga lupa berbicara tanpa titik koma.

Attalla masih tak percaya apa yang sudah dilakukan pemuda kecil di depannya ini hingga ia mematung tak bisa bergerak. Perlahan ia singkirkan tangan Agri yang masih mencengkram kerah bajunya.

“Eits! Tenang dulu bre. Gue lupa kan jelasin ke lu jadinya. Maaf yak?!”

“sekarang!”

“Iya ya ini gue jelasin. Makanya madep sini!” Perintah Attalla membalikkan tubuh kecil Agri agar menghadap padanya.

“Masker sama hand gel yang gue kasih kemaren mana?” Lanjut tanya Attalla kepada Agri.

“Ada dirumah” Jawabnya polos.

Bagaimana tidak Attalla hanya bisa menepis dahinya karena adik kecil di depannya ini.

“Baca berita ga lo?” Tanyanya lagi.

“Berita apaan?”

“Berita yang gue bilang soal pandemi itu! Lo tau pandemi kagak?”

Agri hanya menggeleng hingga membuat Attalla pusing menenggerkan kepalanya pada bahu Agri. Yang menjadi tempat sandaran justru terkejut karena Attalla mendaratkan kepala di bahunya tanpa aba-aba.

Karena jahil Agri bergeser dengan cepat hingga hidung Attalla hampir saja mengenai besi busur Agri yang berada di sampingnya.

“Hahahaha ampir aja kejedot tuh hidung”

“Lu ye bener-bener buat gue pusing!”

“Lagian kenapa sih main senderan aja? Dikira dinding kali ah?! Gue mau pulang! Bye!”

“JANGAN LUPA PAKE MASKER! LIAT PENGUMUMAN SEKOLAH LO UDAH DI LIBURIN APA BELOM?!” Teriak Attalla dari kamar kepada Agri yang berlalu menuju pintu keluar rumah tetangganya itu.

“Bacot! Tidur aja lo sana! Hahahaha —EH! ENYAK?!” Sahut si kecil pula di sambut dengan Ibu Attalla yang hendak masuk.

“Astaghfirullah suara lu berdua sampe kedengeran di warung tau ga?”

Agri hanya menggaruk tengkuknya tak gatal disambung dengan mencium punggung tangan Ibu Attalla hendak berpamitan.

“Maaf ye nyak, aye ribut. Mau pulang dulu nih, assalamu'alaikum”

“Waalaikumsalam! Jan lupa cuci tangan sampe dirumah! Jan keluar lu!”

“Iye aman nyak”

Agri pun melenggang di jalanan sambil menatap sini pada jendela lantai dua rumah Attalla, dimana sang empu kamar sedang melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.

“Aneh, kenapa dia temen gue yak?”


“Kangkangkan kaki selebar bahu, masukan anak panah kedalam Qabid hole.”

” —Tarik arrow pass hingga sejajar dengan garis dada, luruskan pandangan ke depan!”

” —kemudian buat ancang-ancang sasaran kalian dalam hitungan 10 detik. Busungkan dada kalian dan tetap pada posisi berdiri tegap. setelah dirasa siap, lepaskan sekarang!”

Tak! Tak! Shuut! Tak! (sfx: suara anak panah tertancap pada papan sasaran)

“Agri!”

“Yes, Coach” Sahutku terkejut.

“Sasaran mu kurang tepat satu inci dari garis poin ke sepuluh. Kau tahu bukan artinya itu?”

Lagi?

“Siap tahu, Coach”

“Kalau kamu begini terus, ga ada perkembangan emangnya kami bisa andalin kamu supaya masuk tim nasional? Ga kan? Ayo! Teruslah berlatih hingga jarimu mati rasa. Semuanya, bubar!”

“Siap, Coach”

Menghela nafas kasar yang bisa ku lakukan saat ini guna menahan emosi dan sesak di dada hingga timbul rasa ingin memukul kepala pria tua itu dari belakang.

Lagi-lagi usahaku nampak sia-sia dimatanya. Dengan seribu alasan ia menyingkirkan ku karena takut posisi anak didik kesayangannya lengser karena diri ku yang payah ini.

Hah? Payah? Bokongnya yang payah melenggang saja butuh waktu 5 menit untuk keluar dari arena ini.

“Woi! Coach musang! Lo liat ya nanti! Awas aja kalau kagak pingsan lo liat gue masuk timnas ayeuhhh~ ihhh anjing! GUE MAU PULANG!!!”

Setelah lega mencaci, dengan bodohnya aku mengikuti perintah pria tua itu dan berlatih hingga larut malam.


“Intern Attalla?”

“Ya benar, saya pak”

“Sudah berapa kali saya harus bilang kalau saya ga suka map klipingnya warna biru muda!!!”

“Tapi tadi saya di sur—”

“Alah! Jangan banyak alasan! Tukar sekarang dan saya tunggu sampai besok! Awas aja!”

kwuaakkk shhrr (sfx: kertas berterbangan)

Entah aku dianggap karyawan atau pemulung di perusahaan ini. Setiap hari tak lain kerjaan ku hanya mengutip kertas dokumen dengan kesalahan yang amat tak masuk akal.

Warna map biru muda, margin kurang rapi, satu huruf berlebihan, dan masih banyak lagi kesalahan yang aku buat semuanya itu di luar nalar pikir manusia normal.

Mungkin karena aku hanya lulusan SMA mereka bisa menginjak ku semaunya saja. Di cap kurang berpendidikan dan menyebar rumor palsu tentang nilai ijazah ku yang hampir di bilang nilai sempurna membuat semua atasan curiga aku berbohong hingga di tuduh masuk karena jalur orang dalam.

Aku semata wayang dari keluarga dengan ekonomi di bawah rata-rata hanya bisa terus menaikan etos kerja ku setidaknya hanya untuk sekedar membantu menafikshi orang tua.

Namun para tikus yang memakan gaji buta itu menganggap ku seperti serangga yang menumpang hinggap hanya untuk mencicipi bangkai yang mereka makan.

Jujur saja aku lelah dengan semua ini. Ingin berhenti tetapi jalan tuhan berbeda dan takdir belum memutuskan aku harus berjalan kearah yang benar.


“Jika bukan karena segudang masalah ini, kami tak akan bisa memulai hidup yang lebih baik lagi.”

RADIATTA – BEGIN