Prolog


“Kangkangkan kaki selebar bahu, masukan anak panah kedalam Qabid hole.”

” —Tarik arrow pass hingga sejajar dengan garis dada, luruskan pandangan ke depan!”

” —kemudian buat ancang-ancang sasaran kalian dalam hitungan 10 detik. Busungkan dada kalian dan tetap pada posisi berdiri tegap. setelah dirasa siap, lepaskan sekarang!”

Tak! Tak! Shuut! Tak! (sfx: suara anak panah tertancap pada papan sasaran)

“Agri!”

“Yes, Coach” Sahutku terkejut.

“Sasaran mu kurang tepat satu inci dari garis poin ke sepuluh. Kau tahu bukan artinya itu?”

Lagi?

“Siap tahu, Coach”

“Kalau kamu begini terus, ga ada perkembangan emangnya kami bisa andalin kamu supaya masuk tim nasional? Ga kan? Ayo! Teruslah berlatih hingga jarimu mati rasa. Semuanya, bubar!”

“Siap, Coach”

Menghela nafas kasar yang bisa ku lakukan saat ini guna menahan emosi dan sesak di dada hingga timbul rasa ingin memukul kepala pria tua itu dari belakang.

Lagi-lagi usahaku nampak sia-sia dimatanya. Dengan seribu alasan ia menyingkirkan ku karena takut posisi anak didik kesayangannya lengser karena diri ku yang payah ini.

Hah? Payah? Bokongnya yang payah melenggang saja butuh waktu 5 menit untuk keluar dari arena ini.

“Woi! Coach musang! Lo liat ya nanti! Awas aja kalau kagak pingsan lo liat gue masuk timnas ayeuhhh~ ihhh anjing! GUE MAU PULANG!!!”

Setelah lega mencaci, dengan bodohnya aku mengikuti perintah pria tua itu dan berlatih hingga larut malam.


“Intern Attalla?”

“Ya benar, saya pak”

“Sudah berapa kali saya harus bilang kalau saya ga suka map klipingnya warna biru muda!!!”

“Tapi tadi saya di sur—”

“Alah! Jangan banyak alasan! Tukar sekarang dan saya tunggu sampai besok! Awas aja!”

kwuaakkk shhrr (sfx: kertas berterbangan)

Entah aku dianggap karyawan atau pemulung di perusahaan ini. Setiap hari tak lain kerjaan ku hanya mengutip kertas dokumen dengan kesalahan yang amat tak masuk akal.

Warna map biru muda, margin kurang rapi, satu huruf berlebihan, dan masih banyak lagi kesalahan yang aku buat semuanya itu di luar nalar pikir manusia normal.

Mungkin karena aku hanya lulusan SMA mereka bisa menginjak ku semaunya saja. Di cap kurang berpendidikan dan menyebar rumor palsu tentang nilai ijazah ku yang hampir di bilang nilai sempurna membuat semua atasan curiga aku berbohong hingga di tuduh masuk karena jalur orang dalam.

Aku semata wayang dari keluarga dengan ekonomi di bawah rata-rata hanya bisa terus menaikan etos kerja ku setidaknya hanya untuk sekedar membantu menafikshi orang tua.

Namun para tikus yang memakan gaji buta itu menganggap ku seperti serangga yang menumpang hinggap hanya untuk mencicipi bangkai yang mereka makan.

Jujur saja aku lelah dengan semua ini. Ingin berhenti tetapi jalan tuhan berbeda dan takdir belum memutuskan aku harus berjalan kearah yang benar.


“Jika bukan karena segudang masalah ini, kami tak akan bisa memulai hidup yang lebih baik lagi.”

RADIATTA – BEGIN